Rabu, 30 Desember 2015
Memilih Produk Manufaktur Pasangan
.
"Liatin foto temen cewek lo dong, Z"
"Nih"
"Tuh, yang kiri asik tuh B"
"Ah, mukanya kurang nakal"
***
"Gue susah move on sama si A. Dia tuh baik, pinter, perhatian. Cariin dong temen lo. Siapa tau ada yang oke"
"Nih ada. Anaknya baik-baik pas tuh kan lo juga lurus. Solat mulu kan lo. Pas nih kerudungan cantik lagi"
"Gak usah yang pake kerudungan kalo bisa"
.
"Dia tuh aneh banget. Masa dia ngaterin martabak ke rumah gue"
"Ih apaan banget deh. Kan lo belum jadian"
"Pernah juga gue ke kosan dia terus ketiduran. Dia gak ngebanguin gue. Gak ngerasa khawatir apa gimana gitu"
"Ih murahan"
***
"Lah kan kemarin ada yang deketin lo? Gak jadi?
"Aneh banget. Creepy. Dia nulisin puisi buat gue di blognya. Melankolis. Aneh deh. Dia juga gondrong gitu anaknya. "
.
"Ya udah sini gue cariin. Mau yang kayak gimana?"
"Yang kayak Oppa-Oppa Korea"
***
"Kenapa lo sis?"
"Kenapa sih cowo-cowo pervert? Ada yang ngeadd FB gue, ngechat, terus menjurus-jurus gitu. Ada yang cat calling lah "
.
"Eh itu namanya siapa sih?"
"Tyo Pakusadewo. Dia pas tua main di The Raid"
"Ih ganteng deh pas mudanya. Terus pas adegan ganti baju, yang di shoot itunya lagi, gede hahaha. Jadi kosennya kesana kan"
***
"Kemaren gue berantem sama cewe gue. Masa dia ajak main temen cowonya ke rumahnya.
"Lah lo juga grepe-grepe temen cewe lo"
"Beda lah gue ama dia!"
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Ya kalo gak tahu artinya. Coba search di Google ya sis.
Senin, 28 Desember 2015
Mati Rasa
Rasanya sudah lupa bagaimana rasanya punya rasa.
Bagaimana pertama kali mendengarkan lagu-lagu enak.
Bagaimana suapan pertama kari Jepang kesukaan
Bagaimana melihat gebetan menyunggingkan senyum
Bagaimana mendengar pengumuman ditolak
Saya lupa rasanya.
Mungkin ini investasi dari apa yang saya harapkan dan lakukan selama ini. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyukai seorang sahabat. Tapi, seperti jalan di tempat, hubungan kami hanya sampai teman dekat. Kecewa, saya pun memutuskan untuk tidak mempunyai teman pria dahulu dan tidak mau terlalu serius dalam melihat hubungan. Saya sadari saya yang waktu itu saya yang takut bahagia. Beberapa waktu kemudian, saya melihat sebuah postingan bahwa hormon yang menghasilkan rasa senang juga menghasilkan rasa sedih. Pun saya juga mempercayai bahwa, "ketika kamu tertawa terbahak-bahak hari ini, besok kamu akan menangis tersedu". Sederhananya saya berpikir, kalau saya bahagia, saya juga akan sedih dan saya sebal kalau sedih. Akhirnya, saya memutuskan untuk membatasi rasa bahagia saya, supaya ketika sedih saya tidak terlalu terpukul. Saya harus kembali ke titik netral kembali.
Kepercayaan untuk menghilangkan perasaan pun juga semakin kuat jika dihubungkan dengan historis yang lebih jauh lagi. Sedari kecil Ibu selalu menanamkan untuk selalu menjadi 'kuat', berperilaku pantas, tahu tempat, dan tidak berlebihan dalam menunjukan ekspresi. Saya pernah merengek ke Ayah dan kakak-kakak saya untuk pulang karena saya ingin menunaikan Ujian Nasional SMP. Saya merasa takut waktu itu dan saya ingin rumah ramai agar ketakutan saya berkurang. Saya bisa melemparkan ketakutan itu ke orang rumah lainnya, tidak menjadi beban sendiri. Namun, Ibu menolaknya. Ibu bilang: "Semua orang punya urusan masing-masing. Kamu harus menghadapi urusanmu sendiri. Jangan mengganggu orang lain, apalagi bergantung pada mereka". Nasihat ini juga yang saya ingat ketika pulang menangis ke Ibu. Teman baik saya harus kuliah di Amerika Serikat. Saat itu rasanya saya sedih sekali, saya pertama kali merasakan patah hati (bagi saya jatuh cinta bukan hanya perkara seksual). Ibu bilang : "Orang datang dan pergi. Cuma diri kita yang mampu menghidupi diri sendiri. Sudah puasin saja dulu nangisnya". Saya harus redam dan melahap ketakutan, kegelisahan, dan kekecewaan saya sendirian.
Ibu memang ada benarnya. Semakin ke sini saya semakin sadar betapa saya harus mengandalkan diri saya sendiri dalam berbagai situasi. Apalagi setahun belakangan ini, saya bertemu banyak sekali orang dan hubungan kami cenderung singkat, dari sebulan hingga satu hari, bahkan beberapa jam. Tidak hanya perjumpaan, tetapi juga perbincangan yang dalam hingga melakukan self-disclosure. Bagi saya yang memiliki tingkat social anxiety yang tinggi, self-disclosure hanya bisa dilakukan dengan orang-orang yang dekat atau setidaknya ketika saya merasa nyaman.
Tapi ini, saya sudah melakukan banyak sekali self-disclosure kepada orang asing. Memang sih saya sudah merasa nyaman dalam percakapan, tetapi besok-besok saya tidak tahu dapat bertemu lagi kepada mereka atau tidak. Saya bisa merasa senang sekali ketika saya bisa mengobrol dengan nyaman dan topik yang menarik. Namun, ketika berpisah, saya tidak tahu apakah saya bisa bertemu lagi dengan mereka atau tidak. Saya menjadi merasa sedih. Apalagi ketika masuk ke kamar rasanya kosong sekali. Saya berusaha menetralkan lagi rasa bahagia saya untuk saya merasa tidak sedih.
Hal yang paling menyedihkan adalah saya mulai belajar untuk tidak peduli, sebagai kosekuensi saya tidak memiliki rasa. Saya ini senang sekali mendengar orang bercerita apa saja, mulai dari ilmu pasti, seni, ilmu sosial, media, filosofi, percintaan, rumah tangga, properti dan lainnya. Sehingga terkadang saya menggunakan cara pandang ilmu sosial dalam melihat fenomena ilmu pasti dan sebaliknya. Hal yang mengganggu pikiran saya adalah terkadang dalam percakapan mereka suka tidak adil dalam berpikir. Hal ini yang menjadikan saya kesal dan akhirnya menghantarkan saya ke dalam dua pilihan : diam tidak peduli atau menyemprot orang itu. Namun,pilihan pertamalah yang sering saya ambil. Sebab, terkarang pikiran saya suka dianggap aneh oleh teman-teman karena kebiasaan saya melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang tadi. Saya berusaha untuk tidak peduli. Saya meredam kekesalan saya dengan umpatan Ah bodo amat!
Namun, manakah yang lebih nikmat: punya rasa atau mati rasa?
Adakah cara yang lebih tepat untuk perkara rasa?
Perlukah air untuk menumbuhkan rasa ini?
Perlukah sebuah batu untuk menjadi poros
dalam perubahan rasa yang begitu cepat dan ekstrem?
Atau aku hanya butuh tanah tempat untuk kembali?
Sabtu, 05 Desember 2015
Memotong Jalan
Angin berbisik. Kami pulang ke arah rumah kami yang berbeda tapi searah. Aku takut sebenarnya. Ini pertama kali aku naik motor besar dengan menggunakan rok. Tapi, ia berhasil membuatku tenang karena kemampuannya dalam mengendarai kendaraan motor tak usah diragukan.
Petir bergemuruh. Kami memotong jalan. Ia memilih untuk melewati kompleks perumahan tentara. Sudah jelas bahwa tempat itu bukan jalanan umum yang bisa seenaknya dilewati sipil. Ia mintaku untuk membuka helmku.
Rintik hujan menyertai. Aku menikmati pemandangan komplek. Pohon, danau, dan rumput yang basah. Belum lagi, pemandangan rumah tua yang masih terawat. Ia mengetahui dengan baik jalan di dalam komplek itu. Namun, ia ingin menunjukan sesuatu kepadaku. Sabarlah, katanya. Ia mengantarkanku pada sebuah mess dengan lapangan yang luas dengan plang tulisan Brajamusti. Ia tertawa bangga, menunjukkan kegagahannya. Aku tersenyum, tanda hormat.
Hujan berhenti. Kami kembali pulang. Aku tahu sejak itu, kami hanya akan jadi kawan baik yang dekat
Selimut Jingga
"Perkenalkan ini kekasihku"
Aku tertegun. Aku terbangun.
"Aku memimpikanmu tadi malam. Tidak, tidak ada apa-apa."
Rabu, 25 November 2015
Memori tentang Hujan
Mimpi
Coconut Syndrome: Coklat di Luar, Putih di Dalam
Senin, 09 November 2015
Pegabdian pada Bumi
Sabtu, 31 Oktober 2015
Percakapan Gadis dan Wanita
Berkerudung panjang
Bermuka garang
Ia berpikiran putih dan fasih
Mambuatkan puisi untuk Tuhan Yang Maha Pengasih
dan juga untuk Merah Putih
Keputusannya sangat bulat
Ia ingin menjadi Albert
Bekerja di Afrika
dan menjadi orang yang mulia
Ia bertanya pada wanita yang ada di depannya
Mengapa si wanita begitu takut?
Selalu tidur dengan mimpi buruk
Terjaga hingga subuh
Menangis pada hal yang tak patut diberikan air mata
Mengapa si wanita begitu pengecut?
Tak berani ambil risiko untuk berhenti
Ketika hatinya berteriak pada sesuatu yang zalim
Malah bermuka manis pada mereka yang ogah untuk adil
Lalu mengumpatnya diam-diam dalam batin
Si wanita diam dan gadis mengisi ruang yang kelam dengan ucapannya yang tegas .
Si gadis bercerita tentang bagaimana ia menyayangi pohon-pohon di Kalimalang
atau sekedar menikmati pemandangan pepohonan tua di Kebun Raya
Si gadis begitu antusias
tentang glukosa yang berubah warna jika dikasih cairan iodin.
Wanita terkesima.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia mencinta dengan tulus
kepada dunia yang dia geluti.
Ia membelai kepala gadis.
Sambil berkata : Terima kasih telah datang.
Gadis itu pergi
Tanpa sepatah kata
Meninggalkan sedikit ruang kepada wanita untuk kembali mencinta
Tenggelam
Menikah dengan rima
Bermadu dengan serapan
Atau sekedar berjalan-jalan dengan titik koma
Mereka berkata kamu tidak layak
Kata mereka : kamu contoh dari mundurnya zaman
Kaku, baku, dan terlalu berliku-liku
Aku disuruh berpisah dari mu
Merasakan pola pikir baru yang lebih beradab
Naik ke permukaan dan berenang ke lautan lainnya
Aku tak bisa menolak
Aku akan ikuti permainan
Tapi kamu ingat satu hal
Keintiman kita tak akan pernah lepas
Kamu selalu ada dalam mimpiku
Kamu selalu hadir dalam lidahku
Membantuku menerjemahkan makna
Hadir dalam buku-buku ensiklopedi sederhana ku
Hadir dalam fiksi-fiksi yang mengajariku cara untuk mencinta
Sekali lagi aku tak mau melepaskanmu
Meski ku mati tenggelam di lautan seberang.
Rabu, 23 September 2015
Senin, 14 September 2015
Tipe Anak Kuliah
"Dan ada dua tipe anak FISIP. Yang emang dari dulu suka banget sama ilmu sospol atau yang gagal keterima di jurusan-jurusan yang mereka mau"
Minggu, 13 September 2015
Les Miserables
Si Alan
Jumat, 19 Juni 2015
Ujung jalan
Jumat, 29 Mei 2015
Romantis Imajiner
Padaku datanglah seorang anak yang bertanya, "Puan, di dunia ini, hal apa yang paling romantis?"
***
Tiada yang lebih romantis dari nasionalisme.
Belum pernah bertemu tapi merasa satu
Belum pernah bersama tp merasa bersaudara
Belum pernah melengkapi tp merasa saling memiliki
Merasa terhubung
Dengan segala pemikiran dari bung-bung sekalian
Merasa agung
Dengan segala simbol-simbol yang tak ubahnya mitos
Seperti, kita dahulu kala
"Tapi, Puan simbol adalah simbol. Tak memberi apa pun kecuali makna untuk disembah. Bukankah romantis harus resiprokal?"
Lebur
Kita adalah kita
Terbelenggu akan warna
Terjebak akan pusara
Terpanggang dalam amarah
Biasakah kita menjadi lebih sederhana
Menjadi diri yang bukan lagi tergantung akan ke-kita-an?
Menjadi kita yang sebenarnya tidak kita-kita amat?
Minggu, 17 Mei 2015
Dalam APTB
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot
Anak mati meninggalkan kehampaan
Dalam tubuh seorang yang tak lagi punya api gairah
Kosong, matanya kosong
Menatap ribuan besi di hamparan aspal
Berlarian dengan masa
Bertempur dengan abu jalanan
Memikirkan bagaimana kehidupan esok yang begitu begitu saja
Lantas buat apa dipikirkan?
Bukannya begitu-begitu saja?
Buat apa dipikirkan?
Biarkan tenggelam dalam din din din tet tot tet tot.
Minggu, 10 Mei 2015
Sendiri Bersama
Hari ini aku mengerjakan tugas di sebuah kedai kopi menengah (baca : tidak mahal-mahal amat). Tugasku sangat membosankan : menulis verbatim hasil wawancara untuk mata kuliah penelitian. Setelah mencapai puncak bosan, aku melihat sekeliling, depan ku AC dengan freon yang masih baru nampaknya, sangat dingin. Ku lihat sampingku terdapat kedua kolega yang setengah-setengah mengobrol dan setengah-setengah mengerjakan tugas mereka. Mungkin juga mereka dikejar deadline sama seperti ku. Tak ada interaksi, padahal kami satu meja. Hanya satu lirikan yang wanita itu diberikan ketika aku memakan samosa ayam. Aku yakin ia ingin memakan samosa juga karena AC semakin dingin dan bisa jadi ia lapar. Tapi suara yang ku dengar dari mereka hanya bunyi tuts keyboard laptop, bukan ajakan berkenalan atau ajakan lainnya. Semakin jengah, aku buka social media.
Aku berselancar ke dunia maya. Melihat lakon-lakon yang menampilkan foto-foto. Cantik, tampan, dan indah. Tak jarang foto-foto kuberikan 'love'. Namun, ada satu foto yang membuat ku heran. Foto yang diungggah oleh salah satu sutradara favorit. Fotonya berisi dua gadis kecil dengan muka canggung dan foto tersebut memiliki caption : "Pertemuan di satu sore, tanpa jabat tangan dan kenalan, ku abadikan". Aku menerka bagaimana ia mengambil foto tersebut. Tanpa kenalan? Meminta mereka memberhentikan aktivitas dan menyodorkan kamera ke muka mereka? Aneh betul rasanya.
Kita manusia-manusia digital rasanya lebih nyaman berinteraksi dengan media dibanding dengan manusia. Ini baru celoteh ku yang memegang smartphone sejak kuliah dan menggunakan internet sejak SMP. Bagaimana dengan keponakanku yang sedari lahir sudah berhadapan dengan kamera dan foto mereka diungggah kemana-mana. Bahkan mungkin temanku sudah merasa akrab dengan foto keponakanku sebelum mereka bertemu. Mungkin suatu saat keponakanku tidak lagi bisa menatap mata manusia, ia lebih akrab menatap titik kecil bernama lensa pengganti mata-mata manusia yang tak sanggup lagi berinteraksi secara langsung.
***
Kita merasa kita telah bersama secara fisik duduk di meja yang sama, tapi kita sendirian menatap layar-layar. Kita merasa telah mengenal dengan memberikan emoticon satu dengan lainnya, tapi kita sebenarnya sendirian di kamar-kamar, di kedai-kesai. Kita merasa bersama, tapi sebenarnya kita tak lebih dari manusia dengn kesendirian.
***
Dan akhirnya aku kembali menyelesaikan verbatimku.
Senin, 20 April 2015
Mengunyah Kentut
Guru Bangsa Tjokroaminoto : Titik Tengah
Mungkin pula, ketidakhadiran Minke disebabkkan karena terlalu dini untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi hingga kemerdekaan Indonesia. Sebab, Cokro ibarat jembatan yang menghubungkan organisasi awal (Budi Oetomo, Syarikat Prijaji, Serikat Dagang Islam) berbentuk perkumpulan saja dengan organisasi yang telah tahu gerakan apa yang mereka bawa, bersifat politis, dan tahu kemana tujuannya (PNI, PKI, Masyumi, dan PSI). Ia jembatan antara generasi TAM, H. Samanhudi; dan Soekarno, Agus Salim, Muso, Kartosuwirjo dan Semaoen. Menceritakan Cokro berarti juga menyinggung generasi sebelum dan sesudahnya. Jadi, pengangakatan Cokro sebagai tokoh sentral menjadikan penuturan yang lebih luas dan lengkap untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi.
Implikasinya, kehidupan Cokro yang penuh peristiwa penting dipadatkan hanya menjadi dua setengah jam, padahal Cokro bertemu banyak tokoh penting yang akhirnya hanya menjadi figuran. Saya yakin jika waktu film diperpanjang kehadiran tokoh-tokoh ini lebih bermakna dan hidup. Jika Anda teliti, bahkan, film ini menyertakan Matahari, seorang wanita penghibur yang bekerja sampingan menjadi mata-mata (pernah dijadikan novel oleh Remy Sylado). Saya tidak menyadari kehadirannya sampai pada satu adegan atasan Matahari menyuruhnya untuk membuntuti Cokro. Belum lagi ada narator yang semakin memperbanyak aktor dalam film ini, seperti Stella (Chelsea Islan) dan Bagong.
Di sisi lain, saya kurang suka dengan Kusno. Mengapa harus Deva Mahendra? Karena gambaran saya tentang Deva Mahendra telah tercampur oleh perannya di Tetangga Masa Gitu yang bodoh, dan ngebanyol. Jadi, pikiran saya menolak untuk mengidentifikasikan Deva dengan Kusno. Apalagi, ketika ada satu adegan yang Kusno mendekati Utami dan ia bercanda dengan Cokro, Istri Cokro(Putri Ayudya), dan Utami. Saat itu Kusno sangat.......... Bastian (Deva di Tetangga Masa Gitu).
Saya meyukai Semaun (Tanta Ginting) dan Agus Salim (Ibnu Jamil). Mereka berdua begitu pas sebagai figuran hidup Cokro. Mereka tidak banyak ambil bagian, tapi terasa perannya. Saya menyayangkan Muso (Ade Firman Hakim) tidak terlalu terlihat di film ini. Saya menonton beberapa kali pementasan Ade Firman di Teater Koma, termasuk perannya yang terakhir di Legenda Ular Putih. Ia sangat baik memerankan Kon Han Bun yang tidak berpendirian. Berdasarkan hal tersebut, saya berharap bisa melihat perannya yang lebih banyak. Ternyata tidak. Bagaimana dengan Cokro (Reza Rahardian) sendiri? Sangat pas. Itu saja. Ia benar-benar aktor yang tidak memiliki cetakan, ia bisa jadi apa saja.
Berbicara mengenai interpretasi sejarah, saya sebagai orang yang menyukai sejarah (meskipun bukan ahli sejarah) lebih mengharapkan adegan yang lebih panjang. Terutama ketika ada adegan komunitas Tionghoa yang memotong rambutnya. Kalau saya tidak salah baca dari Tetralogi Buru, pemotongan rambut panjang-kepang orang Tionghoa merupakan protes angkatan muda kepada angkatan tua komunitas Tionghoa akan sebuah revolusi di tanah mereka dan itu sarat makna karena Tionghoa memiliki simbol akan rambut tersebut (ini kalo gak salah sih, udah lama juga bacanya). Namun, adegan itu tidak terlalu dijelaskan, tiba-tiba cuma ada adegan potong rambut.
Senin, 26 Januari 2015
Untuk Teman Nun Jauh Di Sana.
Rabu, 21 Januari 2015
Membunuh Tanpa Senjata
"Dek, ini kamu tau Manga"
"Iya, kenapa?"
"Itu ada yang nulis. Abis nonton Manga ada anak yang bunuh diri"
"Oh Iya?"
"Terus katanya ada game tentang bunuh diri yang ngasih tau gimana cara bunuh diri yang peaceful. Serem banget deh bisa sampai bunuh diri."
"Oh Iya ya?"
"Emang Manga itu kayak apasih?"
Untungnya, umur saya sudah 20 tahun, jadi sehabis percakapan tersebut tidak ada embel-embel, "Kamu jangan nonton Manga ya". (Soalnya, saya fans berat dari beberapa Manga, seperti Detectif Conan dan Rurouni Kenshin Hehe. Tidak sampai cosplay sih). Untuk membaca lebih lengkap tulisan tersebut (yang ternyata adalah broadcast message) bisa diklik di sini.
Peran Manusia pada Manusia Lain
Dalam beberapa kasus di Detektif Conan, terdapat beberapa kasus bunuh diri yang sebenarnya dapat dikualifikasikan menjadi kasus pembunuhan, yaitu ketika korban mendapat tekanan atau intimidasi (verbal dan fisik) dari pelaku sehingga ia merasa tidak lagi berguna dan salah satu solusi yang terpikirkan adalah mati. Sebab, dalam dunia ini apa yang terlihat lebih dianggap lebih penting dari apa yang tak terlihat, apa yang mempengaruhi fisik lebih dianggap penting dari apa yang dialami oleh psikologis. Dari luar nampaknya ia bunuh diri dengan menonton Manga. Namun, dibalik aksinya tersebut terdapat seorang pelaku yang 'mendorong'nya untuk bunuh diri. Pelaku dapat dibilang sebagai pembunuh tanpa senjata.
Pernah nonton 3 Idiots? Yes. Kejadian yang sama terjadi pula dalam film 3 Idiots di mana salah satu mahasiswa senior dari institusi pendidikan terbaik di India bunuh diri akibat tugas akhirnya ditolak dan dihancurkan oleh Ketua Insitusi (mungkin Rektor?). Padahal ia sangat ingin lulus dan sudah ditekan oleh dosen dan keluarganya untuk cepat lulus. Ia memiliki harapan, namun harapan tersebut dihancurkan oleh perkataan dan intimidasi dari Ketua Institusi. Ia merasa tidak berguna dan akhirnya ia memilih untuk keluar : bunuh diri. Ranco (Aamir Khan) pada satu adegan pemakaman berkata kepada Ketua Institusi, 'Ia tidak bunuh diri. Ia dibunuh dan anda pembunuhnya" (para-frase).
Bila dikutip dari link yang saya lampirkan bahwa korban : "Sejak kecil ia sudah tinggal dan diasuh neneknya, sebab kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Pulang ke rumah pun, tidak ada yang tahu. Kabarnya di sekolah pun ia termasuk anak yang pandai dan pendiam. Diduga ia kurang pandai bergaul." Ok, jika saya bilang bahwa Manga adalah teman baiknya di mana ia bisa 'diterima' dan merasa 'merdeka' ketika ia tidak memiliki orang-orang di sekitarnya dan kebetulan Manga yang ia konsumsi menjawab permasalahan yang ia bebani, Anda bisa menyimpulkan sesuatu bukan? Well, Manga dan bunuh diri adalah jawaban baginya.
Sihir Manga
Manga merupakan salah satu produk budaya yang menjual konten atau cerita berbentuk komik dari Jepang. Manga pun tersegmentasi dalam beberapa target pasar. Sama seperti film ada yang untuk anak kecil, remaja, dan orang dewasa. Nah, sayangnya, mayoritas orang Indonesia menganggap bahwa kartun itu konsumsi anak-anak, tak terkecuali ibu saya. Beliau tidak suka melihat anak-anaknya ini yang sudah dewasa membaca banyak komik, karena menurut Ibu komik ya untuk anak-anak. Dengan asumsi seperti ini, beberapa orang dewasa membebaskan anak atau adiknya menonton kartun, tanpa melihat segmentasinya, dan tidak memberikan pengertian atau tafsir mengenai isi kartun tersebut. Sehingga ada kemungkinan anak atau adik mengonsumsi adegan-adegan untuk orang dewasa. Jadi, bukan Manganya yang berbahaya. Bisa saja target aundiensnya yang tidak tepat. Pernah juga terdapat sebuah kasus anak yang terjun dari lantai atas, selepas nonton film Superman. Kembali lagi film Superman ditargetkan untuk orang dewasa, bahkan kartunnnya, bukan untuk anak kecil. Ketika kita membawa anak kecil menonton film Superman dan membebaskannya, yang salah siapa? Jadi, jangan terbawa asumsi bahwa kartun itu hanya untuk anak kecil. Jadilah filter pertama untuk adik kita (Anjrit bahasa gue).
Jika kita baca BM tersebut, sangat jelas bahwa intonasi penulis BM menyudutkan media : Manga. Dari awal, ketika percakapan dengan ibu saya dan sebelum membaca postingan Miranda Olga, saya sudah yakin ada masalah dalam keluarganya. Saya tidak percaya bahwa media dapat berpengaruh secara konsisten dan besar terhadap prilaku seorang anak, kecuali jika tidak ada filter atau pengertian dari orang tua maupun institusi pendidikan. Sejak umur 7 tahun, saya sangat menyukai film laga, petualangan, dan misteri (dektektif) termasuk Manga yang saya tonton, di mana kedua genre ini sangat dekat dengan kekerasan dan pemubunuhan. Tapi, Alhamdulillah, saya masih sehat wal afiat dan tidak ada rencana untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain.
Ada beberapa hal yang menurut saya alasan mengapa sihir kekerasan dalam media tidak berdampak pada saya :
(1) Ketika saya mengonsumsi kekerasan (Kung Fu China terutama) saya ditemani oleh Ayah saya, beliau yang pegang remote. Jadi kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan umur saya (kekerasan yang parah atau adegan seks), Ayah saya langsung menggantinya ke channel lain ;
(2) Saya jadikan kekerasan sebagai katarsis atau penyaluran. Jadi ketika saya marah atau sedih atau dan bawaannya saya pingin nonjok orang, hal yang saya cari adalah film laga. Dengan gambar yang disampaikan, saya sudah merasa puas dan perasaan saya terwakili dan bahkan saya terkadang ikut-ikutan capek. Kekerasan dalam media bukan menjadi inspirasi tapi sebagai penyaluran ;
(3) Saya memiliki keluarga harmonis dan teman yang baik. Hidup saya di dunia nyata cukup nyaman sehingga tidak ingin mencari dunia lain yang lebih nyaman. Keluarga saya juga menyampaikan nilai-nilai baik dengan teguh sehingga nilai-nilai lain akan saya filter dulu dan disesuaikan dengan nilai saya dengan kata lain nilai keluarga saya.
Jadi jika ingin terhindar dari Sihir Manga yang dapat 'menjerumuskan' anak kecil hal yang harus dihindari adalah keabsenan dua insitusi penting : keluarga dan sekolah. Media hanyalah salah satu variabel yang kecil pengaruhnya dibandingkan keluarga dan sekolah. Namun, bisa jadi besar pengaruhnya, jika kedua peran dari keluarga dan sekolah hilang. Sekolah? Iya, saya punya cerita. Jadi, ketika saya SMA saya bagian dari kelas IPS dan salah satu murid di kelas tersebut ada yang sangat pendiam dan cendrung menyendiri. Ia juga sangat menyukai Manga dan jago berbahasa Jepang. Sewaktu ketika guru kami melihat ada yang tidak beres dari kondisi ini, akhirnya kami disuruh untuk menemani ia bagaimana pun caranya. Kebetulan ada sebuah project di sekolah kami, yaitu pekan kebudayaan (dan kami dapat tema Jepang), dan drama kelas. Dengan proyek ini, saya, selaku ketua kelas pada waktu itu (eyaaa), melibatkannya dalam menghias tulisan Jepang dan akhirnya kami pun menjadi sering berkomunikasi dengannya dan kami juga jadi berkenalan dengan dunianya. Suatu ketika ia pernah membawa baju cosplay dan kami kagum dengan pakaiannya dan minatnya. Ia menjadi pusat perhatian saat itu. Sedangkan, ketika drama kelas, saya memintanya untuk menjadi narator, sebab suaranya sangat baik. Saat itu guru kami sangat perhatian pada pergaulan kami. Peran sekolah (dalam hal ini guru dan teman-teman) sangat membantu sekali untuk menciptakan kondisi yang nyaman sehingga ia tidak butuh sebuah 'pelarian'.
----
Ketidakhadiran kenyamanan dan kasih sayang pada seseorang bisa menimbulkan perasaan tertekan pada orang lain dan sudah sewajarnya manusia akan mencari titik kenyamanannya sendiri. Bla ia tidak temukan itu di dunia, Ia akan mencarinya lewat apapun, tak terkecuali bunuh diri. Jadi, mind your act because we live in the world of interpretation. Sebelum berlaku pikirkan dahulu apakah ini merugikan orang lain, apakah prilaku saya membuat keadaan sesorang menjadi lebih buruk, apakah prilaku saya dapat melindungi anak-anak saya, apakah prilaku saya memicu seseorang untuk bunuh diri. Jika yang terjadi kalimat yang terakhir, ya... bisa jadi Anda merupakan pembunuh tanpa senjata.
Referensi :
http://tulisanolga.blogspot.com/2015/01/istirahat-dalam-damai-dik.html
Leburnya Feminitas dan Maskulinitas dalam Pendekar Tongkat Emas
Mengenai Saya
- adindaz
- Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.