itu lagi
sampah dikunyah lagi
dimakan dilumat dikeluarkan lagi
bahkan dimakan oleh semua yang mendengarkan
kentut itu bicara
tentang ia yang terlihat pori-porinya di sampul majalah
dikunyah oleh semua
dijadikan kentut lagi oleh semua
dikunyah lagi
hingga hilang rasa, hilang selera
hingga semua bosan
padahal
—
dia di depan
seharusnya
memberi lentera dan harapan
atau setidaknya beri semua
cakrawala
tentang
dunia yang punya ragam paradigma kekuasaan
bukan
kentut
yang
itu lagi
itu
lagi
2014
***
Puisi ini saya ikut sertakan dalam lomba Puisi di UI Art War mewakili FISIP. Kalah sih, tapi menyenangkan juga kembali menulis puisi dan mempublikasikannya kepada khalayak. Terakhir kali saya menulis puisi dan membacakannya ketika saya SMP. Merasa aneh karena teman-teman SMP saya tidak menyukai sastra, saya menyembunyikan minat saya akan puisi dan sastra. Minat ini kembali ketika teman-teman di lingkungan saya (baca : kampus) lebih torelan terhadap minat yang aneh-aneh. Saya pun memberanikan diri untuk mengirim aplikasi.
Teman saya tertawa ketika membaca judulnya, Mengunyah Kentut. Waktu itu, kami berada di kelas dan merasa bosan. Saya bilang ke dia bahwa puisi ini untuk orang yang ada di depan kelas : dosen kami. Ia berbicara seperti kentut, ringan dan tidak bermakna. Lalu, kami memakan kentut tersebut lalu menanggapi kentut itu dengan kentut lagi yang tak kalah baunya. Tiap pertemuaan ia berbicara tentang Jokowi, mulai dari penampilannya hingga fotonya yang berada di cover majalah Times. Memuakan dan membosankan. Jokowi. Jokowi. Jokowi. Seharusnya, ia sebagai dosen menjelaskan dunia politik yang lebih luas tidak hanya Jokowi. Dunia politik lebih beragam. Ia hanya pionir bukan sebuah dewa yang asik dipuja terus menerus.
Secara luas, saya ingin menggambarkan dunia post-modern di mana hampir semua informasi yang dibicarakan sangat tidak subtantif, apalagi oleh media. Media yang harusnya menjadi pelopor surveillence untuk menceritakan ragam dunia hanya menjadi wadah yang omong kosong. Membicarakan hal yang remeh temeh seperti kentut : bau, ringan, tidak bermakna dan kita sebagai masyarakat, bukannya menolaknya, malah memakan kentut-kentut tersebut, sampai bosan, sampai jengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar