Minggu, 21 Desember 2014

Pria yang Miskin Jiwa

"Bagaimana bu tampangnya?"

"Kalau kamu masih bicara soal tampang. Itu namanya kamu belum ajeg sebagai lelaki. Lelaki yang masih mempersoalkan tampang adalah lelaki yang jiwanya miskin. Melihat perempuan hanya dari manfaat bukan martabat"

"Tapi kan cinta dari mata turun ke hati"

"Itu pikiran pria mata keranjang. Melihat wanita langsung mesum. Ingin naik ke atas ranjang"

Mengubah sedikit dari dialog Ca Bau Kan.

Jumat, 31 Oktober 2014

Aku dan Islam

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis.
Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis.
Aku bukan komunis.
Aku bukan humanis.
Aku adalah semuanya.
Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim.
Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat.
Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

-Ahmad Wahib.

Rabu, 29 Oktober 2014

'Kalau terbalik bagaimana?'

'Tadi keluarga yang dari Jalan Jawa, gak ada ya?'
'Iya juga ya.."

"Yah, keluarga Jalan Jawa tuh siapa?"
"Oh, itu keluarga Angku Natsir"
"Hm?"
"Itu loh keluarga M. Natsir. Dulu mereka tinggal di Jalan Jawa"
"Yang pahlawan itu?"
"Ya, dia paman dari Angku Danial Dahlan, ayahnya ayah"
"Wow..."
"Angku Danial itu pernah kerja di koran Masyumi sebagai jurnalis"
"Terus?"
"Angku juga pernah ditangkap bareng orang-orang Masyumi"
"Terus ayah gimana?"
"Ayah masih inget ayah nenteng-nenteng barang ke penjara, nemenin Opung"
"Jadi angku Danial tuh orang pergerakan banget ya?"
" Iya, Angku Danial bahkan pernah dipenjara bareng Buya Hamka, Tau kan? Nama Bunda* itu dikasih sama Buya Hamka. Nama ayah juga dikasih sama M.Natsir. Angku dulu gaulnya sama orang-orang begitu. Oh ya, kamu tau gak yang nangkep angku siapa?
"Hmmm, PKI?"
"Iya.. Mereka yang nangkep angku. Ada salah satu orang PKI yang deket Bluntas, rumah angku waktu itu. Pas G30S, rumahnya digeledah dan dibakar. Di dalam rumahnya udah disediain lubang-lubang untuk mengubur lawan politiknya kalau PKI menang. Nah, dalam daftar lawan politiknya tersebut, ada nama Angku Danial."
"Hah! Serius, yah?"
"Iya..."

"Terus kalau waktu itu PKI memang gimana?"
"Ya.... angku mati dan kehidupan ayah pasti susah"



*panggilan saya untuk adik perempuan ayah yang tertua


Kamis, 10 Juli 2014

Salam Dua Jari

          Saya tahu kedua tokoh dari nomor dua jauh sebelum saya memiliki hak untuk memilih. Saya mengetahui Jusuf Kalla sejak pilpres tahun 2004 dengan image nya kala itu tegas dan cepat. Sehingga pada pilpres pada tahun 2009, ia juga menggunakan tagline yang sama dengan imagenya  ‘lebih cepat, lebih baik’. Ayah saya termasuk tim sukses SBY-JK di daerah Sumatra Barat kala itu (thn 2004). Tak jarang rumah kebanjiran barang-barang kampanye. Meskipun ayah tim sukses, ayah tidak pernah menyuruh keluarganya untuk pro-JK. Ibu saya saat itu mendukung Amien Rais. Semenjak masa kampanye,  saya pun menjadi familiar dengan tokoh JK dan saya pantau terus aktivitas politiknya. Saya baca artikel-artikel terkait dengan dirinya. Satu hal yang menyentuh saya adalah ketika ia mendamaikan GAM di Helsinki. Hal ini yang paling membekas karena saya melihatnya langsung di TV real time. Seorang tokoh yang menyatukan NKRI secara kongret bukan cuma propaganda. Saya termasuk orang yang memilih jalur damai daripada jalur kekerasaan atas nama apapun. Selain itu, penanganan Tsunami yang tergolong cepat dan terpadu juga menarik perhatian saya. Ada kebijakan lain tentunya yang ia lakukan dan di nilai kontroversial, seperti http://www.tempo.co/read/news/2014/05/19/090578702/Jadi-Cawapres-Ini-Daftar-Kebijakan-Kontroversi-JK. Waktu itu, pemerintahan terasa sedikit ‘bergairah’ karena banyaknya inovasi-invoasi yang diciptakan. Ketika masuk pada pilpres selanjutnya, tahun 2009, JK mengajukan diri sebagai Presiden. Sebelumnya, JK diisukan akan bergabung kembali ke SBY, namun ternyata SBY memilih Boediono. Saya ragu JK akan terpilih mengingat personality  JK berbeda dengan SBY. JK gak basa-basi dan tegas (mungkin kalo sekarang mirip Ahok, cuma kyknya gak sekeras Ahok). Beda sama SBY. Sebab, pemilih Indonesia jarang yang memperhatikan misi dan visi. Mereka cendrung melihat citra calon presiden, seperti gagah atau tidak, berwibawa atau tidak, pakaiannya rapi atau tidak dan sebagainya. Ya, predisksi saya benar, JK kalah. Saya tetap pantau aktivitasnya. Selepas menjabat menjadi wakil presiden, ia malah menjadi ketua PMI dan ketua Dewan Masjid Indonesia. Waw. Mana ada mantan wakil presiden yang seaktif beliau. Yang masih memberikan waktu luang untuk aktivitas sosial. Beberapa alasan inilah yang membuat saya simpati dengan JK.
Saya mengetahui Jokowi ketika berbincang dengan tante saya yang berasal dari Solo. Waktu itu, sebuah majalah memuat profilnya sebagai salah satu wali kota terbaik dan saya tanyakan kepadanya. Tante saya membenarkan hal itu. Ia bilang bahwa semenjak Jokowi jadi wali kota banyak sekali festival-festival yang diadakan di kota tersebut. Wah, seru sekali. Saya termasuk orang yang menyukai seni, termasuk festival seni. Tambahnya, Jokowi beberapa kali tiba-tiba muncul ditengah kerumunan tanpa pengawalan. Sosoknya dekat dengan rakyat. Pada waktu itu, blusukan bukanlah prilaku yang wajar bagi pejabat RI (kecuali masa pemilihan) dan waktu itu bukanlah masa pemilu. Berikutnya, ia diisukan untuk menjadi gubernur DKI. Saya memilih dia karena tante saya tersebut. Saya ingin Jakarta seperti Solo : banyak festival. Hahaha sangat cetek pikiran kala itu. Saya gak peduli sama ekonomi, banjir dan  bla bla bla bla. Toh gak kerasa secara langsung sama. Akhirnya, Jokowi menang pilkada dan ternyata kinerjanya diatas ekspetasi saya. Dua hal yang sempat saya rasakan : (1) Urus KTP cepat (2) Oom saya dapat dioperasi dengan biaya yang murah (sebenarnya bisa gratis tapi penyakit oom saya sangat langka sehingga membutuhkan biaya yang mahal dan KJS tidak menyanggupi membayar semua). Terkait nomor (1) : Dompet saya hilang, lalu saya mengurus KTP ke kelurahan DKI. Mereka menangani dengan cepat. Dibandingkan dengan daerah Bekasi, domisili saya, mengurus surat di Bekasi sangatlah lama. Jujur saya mengurus surat dari akhir 2013, sampai sekarang belum jadi. Merasakan kemajuan di DKI (meskipun gak banyak-banyak amat karena baru sebentar), saya termasuk orang yang menginginkan Jokowi menjadi gurbernur saja. Namun, pikiran saya berubah karena inilah momentum yang tepat bagi Jokowi. Jika kita tunda, sampati lima tahun kedepan, bisa saja Jokowi telah berubah, bisa jadi ia tidak bisa diandalkan sebaik ini. Atau mungkin bisa saja masyarakatnya yang berubah. Kita masih ingat bukan pejabat ideal menurut masayarakat 10 tahun yang lalu seperti apa? Seperti SBY : Gagah. Sekarang? Blusukan.
  Selain itu, hal yang menguatkan dukungan saya kepada Jokowi adalah banyaknya seniman yang mendukungnya. Seniman adalah warga negara yang paling apatis kalau menurut saya. Banyak dari mereka yang cendrung tidak peduli kepada politik  karena mereka sudah tidak lagi percaya pejabat yang jarang memperjuangkan ruang-ruang bagi seniman yang menginginkan kemerdekaan berkespresi. Bukan hanya seniman, tetapi para aktivis yang selama ini dibungkam padahal mereka memihak kaum minoritas. Tokoh-tokoh seniman dan aktivis yang tidak percaya politik memilih Jokowi. Ada harapan disana bagi mereka dan juga bagi saya... Dalam salah satu debat Jokowi dengan mata yang menyala menjelaskan dukungannya kepada industri kreatif. Mengapa saya peduli sekali dengan seniman? Seni merupakan wadah untuk kita merefleksi diri. Seni teater yang sering saya tonton, sering sekali membuat sebuah ruang untuk mengkritik keadaan akan kondisi diri dan bangsa. Bangsa yang besar bangsa yang menghargai refleksi diri dari masyarakatnya. Itu dari segi filosofinya, dari segi ekonominya? Korean wave dan industri seni di Amerika termasuk pendapatan yang besar bagi negara mereka. Industri ini juga sangat-sangat sustainable bisa dinikmati berkali-kali tanpa habis, namun tetap mendulang keuntungan. Dari sisi ekonomi ini sangat menguntungkan dari pada hanya bertumpu pada komoditas tambang dan minyak yang cendrung cepat habis. Banyak negara yang bertumpu pada pemasukan wisata dan industri kreatifnya. Aktivis pun akan terdengar (insha Allah) jika Jokowi terpilih meningat JK adalah sosok pendamai yang telah mendamaikan wilayah konflik seperti Aceh dan Ambon. Oh ya satu lagi, orang-orang yang saya idolakan masuk kubu Jokowi, seperti Quraish Shihab, Anies Baswedan, Budiman Sudjatmiko, JRX dan Taufik Basri.
  Hal ini mungkin tidak memberikan alasan yang terlalu 'serius' dengan hal-hal berbau politik atau ekonomi atau misi dan visi mereka, tapi hal ini yang saya betul-betul alami terkait kedua tokoh dan saya mau merasakannya sekali lagi.
        Pun ini sebuah opini dan alasan saya. Saya hanya ingin berbagi cerita bukan untuk mengadu argumen. Terima kasih. Cheers :)

Minggu, 22 Juni 2014

Sastra dan Kehidupan

"Kalo gue punya anak gue bakal ngewajibin dia baca sastra"

          Saya dan membaca adalah sebuah kesatuan. Saya bukanlah saya bila tidak pernah membaca. Bukan hanya jendela dunia, bagi saya, membaca adalah sebuah pembentukan pola pikir yang tidak ada habisnya hingga sampai di suatu titik absolute knowledge-nya Hegel. Melalui membacalah, pola pikir diuji dan disanalah dialektika berlangsung. Namun, kemudian, saya memilih untuk menyukai sastra dibandingkan jenis bacaan lainnya. Ya, sastra yang menceritakan manusia berserta kehidupannya, bumi manusia
          Kehidupan manusia yang dalam sastra bukanlah cerita yang hebat. Bukan cerita naga yang berubah menjadi kaisar ketika mendapatkan ciuman oleh perawan. Kehidupan manusia yang diceritakan biasa-biasa saja. Seorang perempuan yang diculik lalu dijadikan buruh tani dan gundik (Mirah dari Banda), atau seorang priyayi yang memilih menjadi seorang dokter yang bergaji rendah dan minim gensi, kala itu (Jejak Langkah). Biasa saja bukan? cerita yang berada di dalam akal manusia. Namun, hal tersebutlah titik istimewanya. Dimana para pembaca diajak untuk berkompromi dengan realita yang tidak atau belum pernah dirasakannya (atau mungkin pernah dirasakan) dengan sudut pandang orang lain. Kehidupan saya cendrung biasa-biasa saja, untuk itu, untuk memperluas cakrawala pengalaman, saya pinjam pengalaman kehidupan lain dalam sastra agar terbentuk sebuah keberagaman perspektif hidup dan lebih mawas diri dalam menjalani kehidupan. Sehingga saya tidak perlu menjadi gundik untuk merasakan kehidupan gundik. Saya cukup membaca kisahnya dan merasakan kompleksitas batinnya.
        Saya pun menjadi lebih bijak dan toleran dalam menghakimi suatu realita atau peristiwa. Saya akan tinjau hal tersebut dari seluruh aspek seperti pencerita yang menjabarkan pelik kehidupan para tokohnya, tidak hanya apa yang 'terlihat'. Seluruh cerita sastra sangat dekat dengan realita, meskipun banyak dari mereka adalah fiksi atau roman. Hal ini tidak terlepas dari riset mereka yang gila-gilan, detail, dan mendalam agar cerita bisa hidup laksana ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Dengan alasan ini, saya mencintai sastra bertahun-tahun. Hal ini pula yang membuat saya begitu meresapi penggunaan Bahasa Indonesia. Sulit bagi saya untuk menggunakan bahasa lain sebab tidak seintim Bahasa Indonesia yang saya gunakan ketika menikmati sastra. 
          Hal-hal tersebutlah yang membuat sastra menjadi bagian dari hidup saya dan saya harapkan menjadi bagian dari orang-orang pula. Sebab, bukan hanya menjadi terhibur, dengan sastra, kita akan memiliki perspektif imaginer mengenai kehidupan. Mari baca sastra!

Senin, 21 April 2014

Senyum

Hari ini aku tersenyum puas
Setelah semua yang telah ku lewati
Aku mampu berdiri lagi atas segala penolakan itu
Bahkan, aku mendapatkan hadiah yang lebih baik lagi
Tuhan benar,
Aku harus bersabar
Tuhan tahu yang terbaik

Dan aku hanya bisa tersenyum kembali
sambil membayangkan tantangan-tantangan selanjutnya
Sudah siap, Adinda?

Tak Percaya (Lagi)

Tiada lagi kata cinta yang terucap
Atau lagu elegi yang terdengar lirih
Aku ingin menjadi manusia yang bebas
Katakanlah hatiku positivis, bebas nilai (cinta)
Biar aku bisa jadi apa saja yang ku mau

Tak peduli setiap orang yang tersenyum ramah
Atau babi babi yang menunduk
Mencari interaksi kita yang hilang
Biarkan mulutku terkunci rapat
Biarkan bedil di samping telingaku
Aku mau bebas
Biarkan aku bebas

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut