Rabu, 30 Desember 2015

Memilih Produk Manufaktur Pasangan

"Anjir, cewe-cewe kampus gue mah pecun semua, masa kemarin temen gue anak FH cerita temennya  pernah bilang 'Ah masa gue udah kenal satu bulan belum diapa-apain. Baru cipokan beberapa kali aja' "

.

"Liatin foto temen cewek lo dong, Z"
"Nih"
"Tuh, yang kiri asik tuh B"
"Ah, mukanya kurang nakal"

***

"Gue susah move on sama si A. Dia tuh baik, pinter, perhatian. Cariin dong temen lo. Siapa tau ada yang oke"
"Nih ada. Anaknya baik-baik pas tuh kan lo juga lurus. Solat mulu kan lo. Pas nih kerudungan cantik lagi"
"Gak usah yang pake kerudungan kalo bisa"

.

"Dia tuh aneh banget. Masa dia ngaterin martabak ke rumah gue"
"Ih apaan banget deh. Kan lo belum jadian"
"Pernah juga gue ke kosan dia terus ketiduran. Dia gak ngebanguin gue. Gak ngerasa khawatir apa gimana gitu"
"Ih murahan"

***

"Lah kan kemarin ada yang deketin lo? Gak jadi?
"Aneh banget. Creepy. Dia nulisin puisi buat gue di blognya. Melankolis. Aneh deh. Dia juga gondrong gitu anaknya. "

.

"Ya udah sini gue cariin. Mau yang kayak gimana?"
"Yang kayak Oppa-Oppa Korea"

***

"Kenapa lo sis?"
"Kenapa sih cowo-cowo pervert? Ada yang ngeadd FB gue, ngechat, terus menjurus-jurus gitu. Ada yang cat calling lah "

.

"Eh itu namanya siapa sih?"
"Tyo Pakusadewo. Dia pas tua main di The Raid"
"Ih ganteng deh pas mudanya. Terus pas adegan ganti baju, yang di shoot itunya lagi, gede hahaha. Jadi kosennya kesana kan"


***

"Kemaren gue berantem sama cewe gue. Masa dia ajak main temen cowonya ke rumahnya.
"Lah lo juga grepe-grepe temen cewe lo"
"Beda lah gue ama dia!"

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------






*Ya kalo gak tahu artinya. Coba search di Google ya sis.

Senin, 28 Desember 2015

Mati Rasa

"Lo kenapa? Stress?" 
"Gak kenapa-kenapa. Cuma gue gak bisa ngerasain apapun. Seneng nggak, sedih nggak"
"Itu stress namanya! Keliatan dari postingan Instagram lo. Apalagi yang nonton TV di kamar"

Rasanya sudah lupa bagaimana rasanya punya rasa.
Bagaimana pertama kali mendengarkan lagu-lagu enak.
Bagaimana suapan pertama kari Jepang kesukaan
Bagaimana melihat gebetan menyunggingkan senyum
Bagaimana mendengar pengumuman ditolak

Saya lupa rasanya.

Mungkin ini investasi dari apa yang saya harapkan dan lakukan selama ini. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyukai seorang sahabat. Tapi, seperti jalan di tempat, hubungan kami hanya sampai teman dekat. Kecewa, saya pun memutuskan untuk tidak mempunyai teman pria dahulu dan tidak mau terlalu serius dalam melihat hubungan. Saya sadari saya yang waktu itu  saya yang takut bahagia. Beberapa waktu kemudian, saya melihat sebuah postingan bahwa hormon yang menghasilkan rasa senang juga menghasilkan rasa sedih. Pun saya juga mempercayai bahwa, "ketika kamu tertawa terbahak-bahak hari ini, besok kamu akan menangis tersedu". Sederhananya saya berpikir, kalau saya bahagia, saya juga akan sedih dan saya sebal kalau sedih. Akhirnya, saya memutuskan untuk membatasi rasa bahagia saya, supaya ketika sedih saya tidak terlalu terpukul. Saya harus kembali ke titik netral kembali.

Kepercayaan untuk menghilangkan perasaan pun juga semakin kuat jika dihubungkan dengan historis yang lebih jauh lagi. Sedari kecil Ibu selalu menanamkan untuk selalu menjadi 'kuat', berperilaku pantas, tahu tempat, dan tidak berlebihan dalam menunjukan ekspresi. Saya pernah merengek ke Ayah dan kakak-kakak saya untuk pulang karena saya ingin menunaikan Ujian Nasional SMP. Saya merasa takut waktu itu dan saya ingin rumah ramai agar ketakutan saya berkurang. Saya bisa melemparkan ketakutan itu ke orang rumah lainnya, tidak menjadi beban sendiri. Namun, Ibu menolaknya. Ibu bilang: "Semua orang punya urusan masing-masing. Kamu harus menghadapi urusanmu sendiri. Jangan mengganggu orang lain, apalagi bergantung pada mereka". Nasihat ini juga yang saya ingat ketika pulang menangis ke Ibu. Teman baik saya harus kuliah di Amerika Serikat. Saat itu rasanya saya sedih sekali, saya pertama kali merasakan patah hati (bagi saya jatuh cinta bukan hanya perkara seksual).  Ibu bilang : "Orang datang dan pergi. Cuma diri kita yang mampu menghidupi diri sendiri. Sudah puasin saja dulu nangisnya". Saya harus redam dan melahap ketakutan, kegelisahan, dan kekecewaan saya sendirian.

Ibu memang ada benarnya. Semakin ke sini saya semakin sadar betapa saya harus mengandalkan diri saya sendiri dalam berbagai situasi. Apalagi setahun belakangan ini, saya bertemu banyak sekali orang dan hubungan kami cenderung singkat, dari sebulan hingga satu hari, bahkan beberapa jam. Tidak hanya perjumpaan, tetapi juga perbincangan yang dalam hingga melakukan self-disclosure. Bagi saya yang memiliki tingkat social anxiety yang tinggi, self-disclosure hanya bisa dilakukan dengan orang-orang yang dekat atau setidaknya ketika saya merasa nyaman.

 Tapi ini, saya sudah melakukan banyak sekali self-disclosure kepada orang asing. Memang sih saya sudah merasa nyaman dalam percakapan, tetapi besok-besok saya tidak tahu dapat bertemu lagi kepada mereka atau tidak. Saya bisa merasa senang sekali ketika saya bisa mengobrol dengan nyaman dan topik yang menarik. Namun, ketika berpisah, saya tidak tahu apakah saya bisa bertemu lagi dengan mereka atau tidak. Saya menjadi merasa sedih. Apalagi ketika masuk ke kamar rasanya kosong sekali. Saya berusaha menetralkan lagi rasa bahagia saya untuk saya merasa tidak sedih.

Hal yang paling menyedihkan adalah saya mulai belajar untuk tidak peduli, sebagai kosekuensi saya tidak memiliki rasa. Saya ini senang sekali mendengar orang bercerita apa saja, mulai dari ilmu pasti, seni, ilmu sosial, media, filosofi, percintaan, rumah tangga, properti dan lainnya. Sehingga terkadang saya menggunakan cara pandang ilmu sosial dalam melihat fenomena ilmu pasti dan sebaliknya. Hal yang mengganggu pikiran saya adalah terkadang dalam percakapan mereka suka tidak adil dalam berpikir. Hal ini yang menjadikan saya kesal dan akhirnya menghantarkan saya ke dalam dua pilihan : diam tidak peduli atau menyemprot orang itu. Namun,pilihan pertamalah yang sering saya ambil. Sebab, terkarang pikiran saya suka dianggap aneh oleh teman-teman karena kebiasaan saya melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang tadi. Saya berusaha untuk tidak peduli. Saya meredam kekesalan saya dengan umpatan Ah bodo amat!

Namun, manakah yang lebih nikmat: punya rasa atau mati rasa?

Adakah cara yang lebih tepat untuk perkara rasa?
Perlukah air untuk menumbuhkan rasa ini?
Perlukah sebuah batu untuk menjadi poros
dalam perubahan rasa yang begitu cepat dan ekstrem?
Atau aku  hanya butuh tanah tempat untuk kembali?

Sabtu, 05 Desember 2015

Memotong Jalan

Langit mendung. Aku memintanya untuk mengantarkan ku sampai dekat rumah. Ia setuju asalkan aku mau mencari helm pinjaman. Aku berhasil minjam dari teman yang nge-kos di belakang sekolah.

Angin berbisik. Kami pulang ke arah rumah kami yang berbeda tapi searah. Aku takut sebenarnya. Ini pertama kali aku naik motor besar dengan menggunakan rok. Tapi, ia berhasil membuatku tenang karena kemampuannya dalam mengendarai kendaraan motor tak usah diragukan.

Petir bergemuruh. Kami memotong jalan. Ia memilih untuk melewati kompleks perumahan tentara. Sudah jelas bahwa tempat itu bukan jalanan umum yang bisa seenaknya dilewati sipil. Ia mintaku untuk membuka helmku.

Rintik hujan menyertai. Aku menikmati pemandangan komplek. Pohon, danau, dan rumput yang basah. Belum lagi, pemandangan rumah tua yang masih terawat. Ia mengetahui dengan baik jalan di dalam komplek itu. Namun, ia ingin menunjukan sesuatu kepadaku. Sabarlah, katanya. Ia  mengantarkanku pada sebuah mess dengan lapangan yang luas dengan plang tulisan Brajamusti. Ia tertawa bangga, menunjukkan kegagahannya. Aku tersenyum, tanda hormat.

Hujan berhenti. Kami kembali pulang. Aku tahu sejak itu, kami hanya akan jadi kawan baik yang dekat

Selimut Jingga

Aku terbaring di kasur double. Menunggu kehadiranya. Berselimut jingga dan berhati gelisah. Apakah ia datang? Apakah ia ingat? Aku jadi tak sabar. Aku cari ia sambil menutupi tubuhku dengan selimut jingga. Aku berjalan. Berjalan. Kebingungan. Akhirnya, aku menemukannya. Wajahnya yang mirip babi - pipinya bulat - terlihat makin menggemaskan. Ia merona ketika berbincang dengan lawan bicaranya. Aku menghampirinya. 

"Perkenalkan ini kekasihku"







Aku tertegun. Aku terbangun.

"Aku memimpikanmu tadi malam. Tidak, tidak ada apa-apa."

Rabu, 25 November 2015

Memori tentang Hujan

Impresiku terhadap hujan biasa saja, tidak mencaci atau memuja. Biasa saja. Tapi, tiap mendengar suara hujan, tiap mencium bau tanah yang lembab, dan terciprat tampias atau ciptratan becek hujan, aku selalu terbawa pada kenangan-kenangan tertentu dan, lucunya, kenangan itu terbagi menjadi beberapa fase kehidupanku yang selalu aku asosiasikan dengan jenjtang pendidikan ku. Misalnya....

SD Bekasi 
Memori yang ku ingat tiap hujan adalah ketika aku membereskan peralatan colorguard yang terkena air hujan dari atap yang bocor. Atau setelah hujan selesai, kami, anggota Drum Band GSA, memesan bakso kampung yang harganya 3000 rupiah. Atau ketika hujan lebat dan akhirnya tempat latihan kami banjir dan kami terpaksa memberhentikan latihan kami. 

SD Jakarta
Adegan yang selalu ku ingat adalah hujan ketika kami ingin melakukan kegiatan pramuka di lapangan dengan sekolah. Hujan sangat lebat dan akhirnya tanah menjadi gembur. Sepatu ku penuh dengan tanah. Atau ketika aku harus pulang jalan kaki karena jemputanku mogok akibat banjir di komplek Antilop. 

SMP Jakarta
Waktu itu saya, Komang, dan Alida sehabis mengikuti perlombaan Sains atau Matematika (aku lupa). Hujan turun begitu deras dan kami terjebak tidak bisa pulang. Kami naik ke lantai dua/tiga. Bermain dengan tampias, sambil duduk-duduk melihat hujan.

SMA Jakarta
Waktu ku di 8, jarang ada hujan, jujur. Mungkin aku satu-satunya angkatan yang beberapa tahun terakhir ini yang tidak merasakan banjir besar di 8. Tapi, aku tetap memiliki gambaran hujan ku bersama teman-teman SMA ku. Ketika aku mendaki Pangrango di bulan Desember. Hujan lebat. Aku kedinginan. Tapi tidak ada yang membuat ku kagum kecuali ketika melihat pohon-pohon indah di antara Kandang Badak dan Madalawangi. Setelah kedinginan dan mamakai kaos kaki yang lembab, aku melihat kabut yang menyelimuti Mandalawangi.

Universitas Depok
Adegan yang selalu kuingat ketika kuliah adalah ketika aku melihat hujan dari lantai dua Gedung G FISIP pukul 14.00 ketika pelajaran Mata Kuliah Agama Islam. 

Mimpi

Kemarin aku bermimpi. Berbeda dari biasanya, aku bermimpi menggunakan Bahasa Inggris pada sebuah percakapan dengan Diza, temanku. Satu sisi, aku senang. Artinya, Bahasa Inggris telah sampai pada alam bawah sadarku. Tapi, satu sisi lain, aku sedih. Artinya, kekasihku memiliki saingan dalam alam bawah sadarku. 

Coconut Syndrome: Coklat di Luar, Putih di Dalam

Aneh rasanya. Melihat teman-temanku melakukan gestur-gestur intim: berpelukan, mencium pipi satu sama lain atau sekedar bermanja-manjaan sambil menatap langit-langit berdebu. Sejujurnya tak ada yang salah. Itu  hak mereka. Tapi aku terganggu, terutama ketika melihat kulit gelap berminyak mereka saling bersentuhan, atau ketika bibir gelap menyentuh pipi pasangan masing-masing. Aneh. Aku merasa terganggu sekali lagi. 

Tapi,

Aku tidak tabu akan seksualitas. Bagiku, seksualitas adalah bagian dari kemanusian. Aku menerima adegan-adegan intim yang ku tonton lewat film berbintang pemain dari Amerika Serikat dan Eropa. Tapi,ada pengecualian. Logikaku merasa terusik ketika hubungan intim berganti menjadi orang Asia Selatan atau Asia Tenggara- yang kulitnya berwana gelap dan semok - atau oom-oom tua berkumis yang menggerayangi wanita muda semok di sinema televisi. Bagiku, 'pemain' adegan intim pun harus tampan dan cantik, berbadan langsing dan sickpack. Aku mulai merasa bahwa aku sebenarnya asing dengan adegan-adegan seksualitas yang tidak dilakukan oleh si kulit putih. Aneh, padahal kulitku sendiri coklat gelap. 

Aku merasa mungkin karena mereka yang melakukan adegan intim secara eksplisit di film yang ku tonton. Terkadang aku merasa mereka yang pantas - dan enak dipandang -  untuk melakukan kegiatan ini adalah si kulit putih. Aku tidak merasa asing dengan mereka yang berkulit putih untuk bercumbu, tapi aku malah asing pada mereka yang berkulit gelap memadu kasih. 


Hahaha. Aneh.

Aku asing dengan tubuhku sendiri.






Senin, 09 November 2015

Pegabdian pada Bumi

Ia mengajariku menghormati apa yang tubuh dari tanah, dan yang rebah di lantai lautan. Pada akhirnya, kita semua kembali ke tanah. Adakah pengabdian lebih mulia selain memberikan seluruh hidupmu pada bumi? Dan adakah yang lebih nista ketimbang pembunuh makhluk-makhluk tak berdosa? (Laksmi Pamuntjak dalam Aruna dan Lidahnya Hlm. 270-271)

Sabtu, 31 Oktober 2015

Percakapan Gadis dan Wanita

Gadis itu datang
Berkerudung panjang
Bermuka garang

Ia berpikiran putih dan fasih
Mambuatkan puisi untuk Tuhan Yang Maha Pengasih
dan juga untuk Merah Putih

Keputusannya sangat bulat
Ia ingin menjadi Albert
Bekerja di Afrika
dan menjadi orang yang mulia

Ia bertanya pada wanita yang ada di depannya
Mengapa si wanita begitu takut?
Selalu tidur dengan mimpi buruk
Terjaga hingga subuh
Menangis pada hal yang tak patut diberikan air mata

Mengapa si wanita begitu pengecut?
Tak berani ambil risiko untuk berhenti
Ketika hatinya berteriak pada sesuatu yang zalim
Malah bermuka manis pada mereka yang ogah untuk adil
Lalu mengumpatnya diam-diam dalam batin

Si wanita diam dan gadis mengisi ruang yang kelam dengan ucapannya yang tegas .
Si gadis bercerita tentang bagaimana ia menyayangi pohon-pohon di Kalimalang
atau sekedar menikmati pemandangan pepohonan tua di Kebun Raya
Si gadis begitu antusias
tentang glukosa yang berubah warna jika dikasih cairan iodin.

Wanita terkesima.
Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia mencinta dengan tulus
kepada dunia yang dia geluti.
Ia membelai kepala gadis.
Sambil berkata : Terima kasih telah datang.

Gadis itu pergi
Tanpa sepatah kata
Meninggalkan sedikit ruang kepada wanita untuk kembali mencinta





Tenggelam

Kita terbuai dengan kata-kata
Menikah dengan rima
Bermadu dengan serapan
Atau sekedar berjalan-jalan dengan titik koma

Mereka berkata kamu tidak layak
Kata mereka : kamu contoh dari mundurnya zaman
Kaku, baku, dan terlalu berliku-liku
Aku disuruh berpisah dari mu
Merasakan pola pikir baru yang lebih beradab
Naik ke permukaan dan berenang ke lautan lainnya

Aku tak bisa menolak
Aku akan ikuti permainan
Tapi kamu ingat satu hal
Keintiman kita tak akan pernah lepas

Kamu selalu ada dalam mimpiku
Kamu selalu hadir dalam lidahku
Membantuku menerjemahkan makna
Hadir dalam buku-buku ensiklopedi sederhana ku
Hadir dalam fiksi-fiksi yang mengajariku cara untuk mencinta

Sekali lagi aku tak mau melepaskanmu
Meski ku mati tenggelam di lautan seberang.

Rabu, 23 September 2015

O.

Bengong
Kosong
Kolong
Menggonggong
Bengong.

Senin, 14 September 2015

Tipe Anak Kuliah

"Ada dua tipe anak FK, kak. Yang emang dari dulu passionnya emang pingin jadi dokter harapan bangsa atau anak-anak ambisius yang gak punya passion sama sekali, tapi pingin cari aman dengan kerja jadi dokter"

"Dan ada dua tipe anak FISIP. Yang emang dari dulu suka banget sama ilmu sospol atau yang gagal keterima di jurusan-jurusan yang mereka mau"

Minggu, 13 September 2015

Les Miserables

"I know what kind of girl you are by knowing the fact that you cried over Les Miserables movie" - A Friend

Si Alan

Alan memeluku. Aku pun merunduk dan tak sengaja mencium rambutnya. Seperti biasa, bau keringat bercampur bau tengik tertepa matahari. Pantas saja. Ia masih mengenakan baju olahraga birunya yang dekil terkena kotoran. Ia menangis. Mungkin juga tidak. Mungkin matanya hanya sembab. Ia menatapku dengan senyuman jahilnya yang merasa bahwa ia bocah tertampan seantero jagat. Kemudian aku tak bisa melihat senyumnya lagi karena ia sibuk memaikan abu dan pasir di tanah. Tak lama, ia juga memutar-mutar tanganku dan berkata, “Jangan pergi kak”.  Aku membisu. Aku terbangun. 

Jumat, 19 Juni 2015

Ujung jalan

Ia bagai titik di ujung sana
Tidak kemana-mana
Melambaikan tangan, seraya berkata :
"Kemari. Sedikit lagi. Sudah layu kah?"

Menggodaku dengan nafasnya yang terasa ringan
Bersenandung serasa tak ada apa apa
Lalu ia berlari ketika aku sudah hampir sampai 
di titiknya, di ujung jalan.

Senyumnya menyeringai
Matanya semakin picik
Tangannya melambai lagi
"Sudahlah. Kau lelah. Berhenti saja"

Mana mungkin?
Berhenti tanda mati
Yang lemas akan terlindas

Jumat, 29 Mei 2015

Romantis Imajiner

Padaku datanglah seorang anak yang bertanya, "Puan, di dunia ini, hal apa yang paling romantis?"

***
Tiada yang lebih romantis dari nasionalisme.
Belum pernah bertemu tapi merasa satu
Belum pernah bersama tp merasa bersaudara
Belum pernah melengkapi tp merasa saling memiliki

Merasa terhubung
Dengan segala pemikiran dari bung-bung sekalian
Merasa agung
Dengan segala simbol-simbol yang tak ubahnya mitos
Seperti, kita dahulu kala

"Tapi, Puan simbol adalah simbol. Tak memberi apa pun kecuali makna untuk disembah. Bukankah romantis harus resiprokal?"

Lebur

Kita adalah kita
Terbelenggu akan warna
Terjebak akan pusara
Terpanggang dalam amarah
Biasakah kita menjadi lebih sederhana
Menjadi diri yang bukan lagi tergantung akan ke-kita-an?
Menjadi kita yang sebenarnya tidak kita-kita amat?

Minggu, 17 Mei 2015

Dalam APTB

Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot

Anak mati meninggalkan kehampaan
Dalam tubuh seorang yang tak lagi punya api gairah
Kosong, matanya kosong
Menatap ribuan besi di hamparan aspal
Berlarian dengan masa
Bertempur dengan abu jalanan
Memikirkan bagaimana kehidupan esok yang begitu begitu saja
Lantas buat apa dipikirkan?
Bukannya begitu-begitu saja?

Buat apa dipikirkan?
Biarkan tenggelam dalam din din din tet tot tet tot.

Minggu, 10 Mei 2015

Sendiri Bersama

            Hari ini aku mengerjakan tugas di sebuah kedai kopi menengah (baca : tidak mahal-mahal amat). Tugasku sangat membosankan : menulis verbatim hasil wawancara untuk mata kuliah penelitian. Setelah mencapai puncak bosan, aku melihat sekeliling, depan ku AC dengan freon yang masih baru nampaknya, sangat dingin. Ku lihat sampingku terdapat kedua kolega yang setengah-setengah mengobrol dan setengah-setengah mengerjakan tugas mereka. Mungkin juga mereka dikejar deadline sama seperti ku. Tak ada interaksi, padahal kami satu meja. Hanya satu lirikan yang wanita itu diberikan ketika aku memakan samosa ayam. Aku yakin ia ingin memakan samosa juga karena AC semakin dingin dan bisa jadi ia lapar. Tapi suara yang ku dengar dari mereka hanya bunyi tuts keyboard laptop, bukan ajakan berkenalan atau ajakan lainnya. Semakin jengah, aku buka social media.

            Aku berselancar ke dunia maya. Melihat lakon-lakon yang menampilkan foto-foto. Cantik, tampan, dan indah. Tak jarang foto-foto kuberikan 'love'. Namun, ada satu foto yang membuat ku heran. Foto yang diungggah oleh salah satu sutradara favorit. Fotonya berisi dua gadis kecil dengan muka canggung dan foto tersebut memiliki caption : "Pertemuan di satu sore, tanpa jabat tangan dan kenalan, ku abadikan". Aku menerka bagaimana ia mengambil foto tersebut. Tanpa kenalan? Meminta mereka memberhentikan aktivitas dan menyodorkan kamera ke muka mereka? Aneh betul rasanya.

           Kita manusia-manusia digital rasanya lebih nyaman berinteraksi dengan media dibanding dengan manusia. Ini baru celoteh ku yang memegang smartphone sejak kuliah dan menggunakan internet sejak SMP. Bagaimana dengan keponakanku yang sedari lahir sudah berhadapan dengan kamera dan foto mereka diungggah kemana-mana. Bahkan mungkin temanku sudah merasa akrab dengan foto keponakanku sebelum mereka bertemu. Mungkin suatu saat keponakanku tidak lagi bisa menatap mata manusia, ia lebih akrab menatap titik kecil bernama lensa pengganti mata-mata manusia yang tak sanggup lagi berinteraksi secara langsung.

***

             Kita merasa kita telah bersama secara fisik duduk di meja yang sama, tapi kita sendirian menatap layar-layar. Kita merasa telah mengenal dengan memberikan emoticon satu dengan lainnya, tapi kita sebenarnya sendirian di kamar-kamar, di kedai-kesai. Kita merasa bersama, tapi sebenarnya kita tak lebih dari manusia dengn kesendirian.

***

            Dan akhirnya aku kembali menyelesaikan verbatimku.

Senin, 20 April 2015

Mengunyah Kentut

itu lagi

sampah dikunyah lagi

dimakan dilumat dikeluarkan lagi

bahkan dimakan oleh semua yang mendengarkan

kentut itu bicara

tentang ia yang terlihat pori-porinya di sampul majalah

dikunyah oleh semua

dijadikan kentut lagi oleh semua

dikunyah lagi

hingga hilang rasa, hilang selera

hingga semua bosan




padahal —

dia di depan

seharusnya memberi lentera dan harapan

atau setidaknya beri semua cakrawala

tentang dunia yang punya ragam paradigma kekuasaan

bukan kentut

yang itu lagi

itu lagi


2014

***

      Puisi ini saya ikut sertakan dalam lomba Puisi di UI Art War mewakili FISIP. Kalah sih, tapi menyenangkan juga kembali menulis puisi dan mempublikasikannya kepada khalayak. Terakhir kali saya menulis puisi dan membacakannya ketika saya SMP. Merasa aneh karena teman-teman SMP saya tidak menyukai sastra, saya menyembunyikan minat saya akan puisi dan sastra. Minat ini kembali ketika teman-teman di lingkungan saya (baca : kampus) lebih torelan terhadap minat yang aneh-aneh. Saya pun memberanikan diri untuk mengirim aplikasi.
         Teman saya tertawa ketika membaca judulnya, Mengunyah Kentut. Waktu itu, kami berada di kelas dan merasa bosan. Saya bilang ke dia bahwa puisi ini untuk orang yang ada di depan kelas : dosen kami. Ia berbicara seperti kentut, ringan dan tidak bermakna. Lalu, kami memakan kentut tersebut lalu menanggapi kentut itu dengan kentut lagi yang tak kalah baunya. Tiap pertemuaan ia berbicara tentang Jokowi, mulai dari penampilannya hingga fotonya yang berada di cover majalah Times. Memuakan dan membosankan. Jokowi. Jokowi. Jokowi. Seharusnya, ia sebagai dosen  menjelaskan dunia politik yang lebih luas tidak hanya Jokowi. Dunia politik lebih beragam. Ia hanya pionir bukan sebuah dewa yang asik dipuja terus menerus. 
           Secara luas, saya ingin menggambarkan dunia post-modern di mana hampir semua informasi yang dibicarakan sangat tidak subtantif, apalagi oleh media. Media yang harusnya menjadi pelopor surveillence untuk menceritakan ragam dunia hanya menjadi wadah yang omong kosong. Membicarakan hal yang remeh temeh seperti kentut : bau, ringan, tidak  bermakna dan kita sebagai masyarakat, bukannya menolaknya, malah memakan kentut-kentut tersebut, sampai bosan, sampai jengah. 

Guru Bangsa Tjokroaminoto : Titik Tengah

Sudah sampai dimana hijrah kita Gus?”
           “Mungkin sampai Arafah, gersang dan sepi. Mungkin ini saatnya meminta Allah untuk menemani”

             Dengan latar belakang lukisan pemandangan pelataran Keraton, H.O.S Tjokroaminoto (Reza Rahadian) dan Agus Salim (Ibnu Jamil) berdialog secara teatrikal dan metaforis. Ketika itu, Serikat Islam semakin terpecah, SI Merah dan SI Putih. Semua berantakan. Semua berpencaran. Maka, Cokro, sekali lagi, menanyakan makna hijrah dan sudah sampai mana hijrah beliau. Adegan ini merupakan adegan yang paling saya sukai. Cokro terlihat seperti manusia, tidak lagi seperti dewa yang dielu-elukan masyarakat Semarang-Surabaya. Ia menjadi manusia kembali : ragu akan takdir, ragu atas hijrah yang telah diambil.
***

Titik Tengah
             Motivasi utama saya menonton film ini di bioskop sangat sederhana. Saya ingin melihat apakah ada sosok Tirto Adhi Surjo (Minke) dimunculkan dalam film ini. Mengingat salah satu sumbu dari pergerakan zaman Cokro adalah koran terbitan Minke, Medan Priaji. Bahkan dalam buku Jejak Langkah dan Rumah Kaca, nama Cokro sering kali disebut sebagai konco-konco setelah Minke. Sebab, Minke salah satu pelopor yang membuat Serikat Prijaji yang nantinya akan menginisiasi pembentukan Serikat Dagang Islam oleh H. Samanhudi dan nantinya, SDI akan berubah menjadi SI oleh H.O.S Cokroaminoto. Jelas bagi saya, Minke adalah ‘kakak kelas’ dari Cokro.  Saya merupakan penganggum garis keras Minke (tokoh gubahan Pram yang menceritakan TAM). Oleh karena itu, saya ingin melihat apakah Garin mengikutsertakan Minke? Kalau iya, bagaimana wujudnya? Ternyata harapan saya terlalu muluk. Minke tidak diadakan tokohnya. Tapi salah satu pemain figuran yang berpakaian gamis (saya tidak tau namanya) menyebutkan nama Minke, koran Minke sebagai referensi gerakan. Saya sudah merasa senang.
             
             Mungkin pula, ketidakhadiran Minke disebabkkan karena terlalu dini untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi hingga kemerdekaan Indonesia. Sebab, Cokro ibarat jembatan yang menghubungkan organisasi awal (Budi Oetomo, Syarikat Prijaji, Serikat Dagang Islam) berbentuk perkumpulan saja dengan organisasi yang telah tahu gerakan apa yang mereka bawa, bersifat politis, dan tahu kemana tujuannya (PNI, PKI, Masyumi, dan PSI). Ia jembatan antara generasi TAM, H. Samanhudi; dan Soekarno, Agus Salim, Muso, Kartosuwirjo dan Semaoen. Menceritakan Cokro berarti juga menyinggung generasi sebelum dan sesudahnya. Jadi, pengangakatan Cokro sebagai tokoh sentral menjadikan penuturan yang lebih luas dan lengkap untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi.

               Implikasinya, kehidupan Cokro yang penuh peristiwa penting dipadatkan hanya menjadi dua setengah jam, padahal Cokro bertemu banyak tokoh penting yang akhirnya hanya menjadi figuran. Saya yakin jika waktu film diperpanjang kehadiran tokoh-tokoh ini lebih bermakna dan hidup. Jika Anda teliti, bahkan, film ini menyertakan Matahari, seorang wanita penghibur yang bekerja sampingan menjadi mata-mata (pernah dijadikan novel oleh Remy Sylado). Saya tidak menyadari kehadirannya sampai pada satu adegan atasan Matahari menyuruhnya untuk membuntuti Cokro. Belum lagi ada narator yang semakin memperbanyak aktor dalam film ini, seperti Stella (Chelsea Islan) dan Bagong.

Utami dan Para Pria Kece
              Saya iri kepada Utami. Jujur. Bagaimana bisa ia dapat seatap dengan pria-pria kece, seperti Soekarno, Semaoen, Muso, dan Darsono. Melihat mereka berdiskusi tiap hari dan melihat pria-pria pintar tersebut mondar-mandir di rumah sendiri berbicara tentang gagasan? Bisa-bisa saya menguping tiap saat dan memandangi pria-pria tersebut. Sudah mana, dalam film ini, pria-pria tersebut tampan-tampan, tentu aslinya mungkin saja tidak setampan mereka. Hahaha.
              
              Di sisi lain, saya kurang suka dengan Kusno. Mengapa harus Deva Mahendra? Karena gambaran saya tentang Deva Mahendra telah tercampur oleh perannya di Tetangga Masa Gitu yang bodoh, dan ngebanyol. Jadi, pikiran saya menolak untuk mengidentifikasikan Deva dengan Kusno. Apalagi, ketika ada satu adegan yang Kusno mendekati Utami dan ia bercanda dengan Cokro, Istri Cokro(Putri Ayudya), dan Utami. Saat itu Kusno sangat.......... Bastian (Deva di Tetangga Masa Gitu).

               Saya meyukai Semaun (Tanta Ginting) dan Agus Salim (Ibnu Jamil). Mereka berdua begitu pas sebagai figuran hidup Cokro. Mereka tidak banyak ambil bagian, tapi terasa perannya. Saya menyayangkan Muso (Ade Firman Hakim) tidak terlalu terlihat di film ini. Saya menonton beberapa kali pementasan Ade Firman di Teater Koma, termasuk perannya yang terakhir di Legenda Ular Putih. Ia sangat baik memerankan Kon Han Bun yang tidak berpendirian. Berdasarkan hal tersebut, saya berharap bisa melihat perannya yang lebih banyak. Ternyata tidak. Bagaimana dengan Cokro (Reza Rahardian) sendiri? Sangat pas. Itu saja. Ia benar-benar aktor yang tidak memiliki cetakan, ia bisa jadi apa saja.

Menyajikan Tjokro
                Leila S.Chudori mengkritik film ini (di Majalah Tempo) karena banyak adegan menyanyi sebagai cara untuk perpindahan waktu. Menurutnya, porsi musikal tidak untuk film ini. Di satu sisi, saya setuju. Kebanyakan adegan bernyanyi membuat semakin memperpanjang durasi film, mengurangi dialog, dan menjadikan film ini lebih keliatan tidak garang atau serius (‘ya kali, masa pahlawan nyanyi-nyanyi sih?’). Namun, entah mengapa kehadiran musikal dan kur ini dapat menjadikan pesan-pesan yang berat menjadi lebih santai, menjadi distraction yang menghibur, dan mempertegas bahwa ini bukan sumber sejarah, ini interpretasi Garin akan Cokro. Perlu diingat bahwa ini film komersil sehingga akan sulit untuk tetap menarik penonton Indonesia jika hanya menghadirkan film yang penuh akan diskusi dan orasi tanpa menghadirkan suatu yang menghibur. Tentu masih ingat GIE yang kurang laku di pasaran. Musik salah satu variabel yang akan membuat penonton merasa film ini tidak terlalu serius dan mengihur..
                  
                   Berbicara mengenai interpretasi sejarah, saya sebagai orang yang menyukai sejarah (meskipun bukan ahli sejarah) lebih mengharapkan adegan yang lebih panjang. Terutama ketika ada adegan  komunitas Tionghoa yang memotong rambutnya. Kalau saya tidak salah baca dari Tetralogi Buru, pemotongan rambut panjang-kepang orang Tionghoa merupakan protes angkatan muda kepada angkatan tua komunitas Tionghoa akan sebuah revolusi di tanah mereka dan itu sarat makna karena Tionghoa memiliki simbol akan rambut tersebut (ini kalo gak salah sih, udah lama juga bacanya). Namun, adegan itu tidak terlalu dijelaskan, tiba-tiba cuma ada adegan potong rambut.
Menurut saya juga terlalu banyak adegan muka melas pribumi. Terlalu eksploitatif. Mungkin film ini ingin menggambarkan perbedaan power dan relasi kuasa antara prijaji dan pribumi jelata. Tapi, kurang pas saja bagi saya. Sangat tidak enak dilihat.
***

             

‘Ingatlah ini ketika kau ingin berhijrah : setinggi-tingginya ilmu, Sepintar-pintar strategi, Semurni-murninnya Tauhid’




P.S : I found this article has  unstructured and non-comprehensive plot. I'm sorry for inconvenience. I made this in hurry before I forget my impression about this movie. Beside, I was too lazy to make a good one.


Senin, 26 Januari 2015

Untuk Teman Nun Jauh Di Sana.

Suatu malam di dalam mobil yang melaju kencang di jalan yang lenggang. 

"Kalau gue mati ada gak ya yang bakal nangisin gue? Yang ngerasa sedih kalau gue tinggalin?"
"Ada. Gue salah satunya"

Rabu, 21 Januari 2015

Membunuh Tanpa Senjata

Jadi begini, tiap sore menjelang malam saya selalu memiliki kebiasan baru menonton sinetron dengan Ibu dan Ayah. Tiba-tiba ketika pariwara Ibu saya memulai percakapan (yang saya parafrase-kan) :

"Dek, ini kamu tau Manga"
"Iya, kenapa?"
"Itu ada yang nulis. Abis nonton Manga ada anak yang bunuh diri"
"Oh Iya?"
"Terus katanya ada game tentang bunuh diri yang ngasih tau gimana cara bunuh diri yang peaceful. Serem banget deh bisa sampai bunuh diri."
"Oh Iya ya?"
"Emang Manga itu kayak apasih?"

Untungnya, umur saya sudah 20 tahun, jadi sehabis percakapan tersebut tidak ada embel-embel, "Kamu jangan nonton Manga ya". (Soalnya, saya fans berat dari beberapa Manga, seperti Detectif Conan dan Rurouni Kenshin Hehe. Tidak sampai cosplay sih). Untuk membaca lebih lengkap tulisan tersebut (yang ternyata adalah broadcast message) bisa diklik di sini.

Peran Manusia pada Manusia Lain 
Dalam beberapa kasus di Detektif Conan, terdapat beberapa kasus bunuh diri yang sebenarnya dapat dikualifikasikan menjadi kasus pembunuhan, yaitu ketika korban mendapat tekanan atau intimidasi (verbal dan fisik) dari pelaku sehingga ia merasa tidak lagi berguna dan salah satu solusi yang terpikirkan adalah mati. Sebab, dalam dunia ini apa yang terlihat lebih dianggap lebih penting dari apa yang tak terlihat, apa yang mempengaruhi fisik lebih dianggap penting dari apa yang dialami oleh psikologis. Dari luar nampaknya ia bunuh diri dengan menonton Manga. Namun, dibalik aksinya tersebut terdapat seorang pelaku yang 'mendorong'nya untuk bunuh diri. Pelaku dapat dibilang sebagai pembunuh tanpa senjata.


Pernah nonton 3 Idiots? Yes. Kejadian yang sama terjadi pula dalam film 3 Idiots di mana salah satu mahasiswa senior dari institusi pendidikan terbaik di India bunuh diri akibat tugas akhirnya ditolak dan dihancurkan oleh Ketua Insitusi (mungkin Rektor?). Padahal ia sangat ingin lulus dan sudah  ditekan oleh dosen dan keluarganya untuk cepat lulus. Ia memiliki harapan, namun harapan tersebut dihancurkan oleh perkataan dan intimidasi dari Ketua Institusi. Ia merasa tidak berguna dan akhirnya ia memilih untuk keluar : bunuh diri. Ranco (Aamir Khan) pada satu adegan pemakaman berkata kepada Ketua Institusi, 'Ia tidak bunuh diri. Ia dibunuh dan anda pembunuhnya" (para-frase).

Bila dikutip dari link yang saya lampirkan bahwa korban : "Sejak kecil ia sudah tinggal dan diasuh neneknya, sebab kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Pulang ke rumah pun, tidak ada yang tahu. Kabarnya di sekolah pun ia termasuk anak yang pandai dan pendiam. Diduga ia kurang pandai bergaul."  Ok, jika saya bilang bahwa Manga adalah teman baiknya di mana ia bisa 'diterima' dan merasa 'merdeka' ketika ia tidak memiliki orang-orang di sekitarnya dan kebetulan Manga yang ia konsumsi menjawab permasalahan yang ia bebani, Anda bisa menyimpulkan sesuatu bukan? Well, Manga dan bunuh diri adalah jawaban baginya.

Sihir Manga
Manga merupakan salah satu produk budaya yang menjual konten atau cerita berbentuk komik dari Jepang. Manga pun tersegmentasi dalam beberapa target pasar. Sama seperti film ada yang untuk anak kecil, remaja, dan orang dewasa. Nah, sayangnya, mayoritas orang Indonesia menganggap bahwa kartun itu konsumsi anak-anak, tak terkecuali ibu saya. Beliau tidak suka melihat anak-anaknya ini yang sudah dewasa membaca banyak komik, karena menurut Ibu komik ya untuk anak-anak. Dengan asumsi seperti ini, beberapa orang dewasa membebaskan anak atau adiknya menonton kartun, tanpa melihat segmentasinya, dan tidak memberikan pengertian atau tafsir mengenai isi kartun tersebut. Sehingga ada kemungkinan anak atau adik mengonsumsi adegan-adegan untuk orang dewasa. Jadi, bukan Manganya yang berbahaya. Bisa saja target aundiensnya yang tidak tepat. Pernah juga terdapat sebuah kasus anak yang terjun dari lantai atas, selepas nonton film Superman. Kembali lagi film Superman ditargetkan untuk orang dewasa, bahkan kartunnnya, bukan untuk anak kecil. Ketika kita membawa anak kecil menonton film Superman dan membebaskannya, yang salah siapa? Jadi, jangan terbawa asumsi bahwa kartun itu hanya untuk anak kecil. Jadilah filter pertama untuk adik kita (Anjrit bahasa gue).

Jika kita baca BM tersebut, sangat jelas bahwa intonasi penulis BM menyudutkan media : Manga. Dari awal, ketika percakapan dengan ibu saya dan sebelum membaca postingan Miranda Olga, saya sudah yakin ada masalah dalam keluarganya. Saya tidak percaya bahwa media dapat berpengaruh secara konsisten dan besar terhadap prilaku seorang anak, kecuali jika tidak ada filter atau pengertian dari orang tua maupun institusi pendidikan. Sejak umur 7 tahun, saya sangat menyukai film laga, petualangan, dan misteri (dektektif) termasuk Manga yang saya tonton, di mana kedua genre ini sangat dekat dengan kekerasan dan pemubunuhan. Tapi, Alhamdulillah, saya masih sehat wal afiat dan tidak ada rencana untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain.

Ada beberapa hal yang menurut saya alasan mengapa sihir kekerasan dalam media tidak berdampak pada saya :

(1) Ketika saya mengonsumsi kekerasan (Kung Fu China terutama) saya ditemani oleh Ayah saya, beliau yang pegang remote. Jadi kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan umur saya (kekerasan yang parah atau adegan seks), Ayah saya langsung menggantinya ke channel lain ;

(2) Saya jadikan kekerasan sebagai katarsis atau penyaluran. Jadi ketika saya marah atau sedih atau  dan bawaannya saya pingin nonjok orang, hal yang saya cari adalah film laga. Dengan gambar yang disampaikan, saya sudah merasa puas dan perasaan saya terwakili dan bahkan saya terkadang ikut-ikutan capek. Kekerasan dalam media bukan menjadi inspirasi tapi sebagai penyaluran ;

(3) Saya memiliki keluarga harmonis dan teman yang baik. Hidup saya di dunia nyata cukup nyaman sehingga tidak ingin mencari dunia lain yang lebih nyaman. Keluarga saya juga menyampaikan nilai-nilai baik dengan teguh sehingga nilai-nilai lain akan saya filter dulu dan disesuaikan dengan nilai saya dengan kata lain nilai keluarga saya.

Jadi jika ingin terhindar dari Sihir Manga yang dapat 'menjerumuskan' anak kecil hal yang harus dihindari adalah keabsenan dua insitusi penting : keluarga dan sekolah. Media hanyalah salah satu variabel yang kecil pengaruhnya dibandingkan keluarga dan sekolah. Namun, bisa jadi besar pengaruhnya, jika kedua peran dari keluarga dan sekolah hilang. Sekolah? Iya, saya punya cerita. Jadi, ketika saya SMA saya bagian dari kelas IPS dan salah satu murid di kelas tersebut ada yang sangat pendiam dan cendrung menyendiri. Ia juga sangat menyukai Manga dan jago berbahasa Jepang. Sewaktu ketika guru kami melihat ada yang tidak beres dari kondisi ini, akhirnya kami disuruh untuk menemani ia bagaimana pun caranya. Kebetulan ada sebuah project di sekolah kami, yaitu pekan kebudayaan (dan kami dapat tema Jepang), dan drama kelas. Dengan proyek ini, saya, selaku ketua kelas pada waktu itu (eyaaa), melibatkannya dalam menghias tulisan Jepang dan akhirnya kami pun menjadi sering berkomunikasi dengannya dan kami juga jadi berkenalan dengan dunianya. Suatu ketika ia pernah membawa baju cosplay dan kami kagum dengan pakaiannya dan minatnya. Ia menjadi pusat perhatian saat itu. Sedangkan, ketika drama kelas, saya memintanya untuk menjadi narator, sebab suaranya sangat baik. Saat itu guru kami sangat perhatian pada pergaulan kami. Peran sekolah (dalam hal ini guru dan teman-teman) sangat membantu sekali untuk menciptakan kondisi yang nyaman sehingga ia tidak butuh sebuah 'pelarian'.

----

Ketidakhadiran kenyamanan dan kasih sayang pada seseorang bisa menimbulkan perasaan tertekan pada orang lain dan sudah sewajarnya manusia akan mencari titik kenyamanannya sendiri. Bla ia tidak temukan itu di dunia, Ia akan mencarinya lewat apapun, tak terkecuali bunuh diri. Jadi, mind your act because we live in the world of interpretation. Sebelum berlaku pikirkan dahulu apakah ini merugikan orang lain, apakah prilaku saya membuat keadaan sesorang menjadi lebih buruk, apakah prilaku saya dapat melindungi anak-anak saya, apakah prilaku saya memicu seseorang untuk bunuh diri. Jika yang terjadi kalimat yang terakhir, ya... bisa jadi Anda merupakan pembunuh tanpa senjata.

Referensi :
http://tulisanolga.blogspot.com/2015/01/istirahat-dalam-damai-dik.html

Leburnya Feminitas dan Maskulinitas dalam Pendekar Tongkat Emas

     "Apakah kamu bersedia bersumpah, Cempaka?"
     "Saya bersumpah"



Adegan ini berhasil membuat saya berhenti menikmati film silat, Pendekar Tongkat Emas, sejenak. Tiba-tiba,  pikiran saya diselak dengan materi perkuliahan feminisme dalam Teori Media dan diskusi dalam Industri Budaya. Pasalnya, dengan mata yang berbinar-binar, Cempaka muda (Prisia Nasution), menyatakan bersedia untuk menurunkan jurus perguruan silat, Perguruan Tongkat Emas. Sedangkan, pasangannya, Naga Putih (Darius Sinatria), lebih memilih untuk mengasingkan diri dari dunia silat sambil membesarkan anak. Naga Putih enggan untuk meneruskan perguruan karena ia menolak untuk membunuh orang, meskipun orang tersebut jahat (saya duga ia memutuskan untuk berhenti karena sisi humanisnya telah terganggu). Bersama Cempaka, pewaris tongkat emas, mereka berdua membuat kesepakatan dengan sebuah sumpah. Cempaka akan meneruskan kejayaan perguruan sikat tongkat emas dengan kosekuensi ia harus terus membunuh orang jahat demi kestabilan masyarakat dan harus berpisah dengan anaknya, Elang. Sementara itu, Naga Putih mengasingkan diri, membesarkan anak dan tidak mau ikut campur dengan dunia persilatan.

Perempuan Pemberani yang Baik
Banyak pihak yang meyakini bahwa industri film adalah industri yang dikuasi pria. Di mana segala sudut pandang yang di ambil berasal dari kaum pria. Perempuan yang 'baik' digambarkan menggoda, berpakaian mengundang hasrat, lemah, tidak memiliki pendirian yang kuat dan selalu ada di belakang untuk menemani pria. Adapun perempuan digambarkan dengan kemandirian, kehebatan dan memiliki kekuatan, ia dimunculan sebagai sosok villian sebagai bentuk bahwa perempuan yang mandiri adalah menyimpang. Tentu masih ingat, Madison Lee dalam film Charlie Angels, seorang mantan angel yang pintar dan tangguh luar biasa tapi digambarkan sebagai sesosok yang jahat. Dalam dunia patriarki, hal ini lumrah dilakukan sebab kembali ke awal industri film adalah dunia pria.

Namun, Cempaka adalah sebuah anomali. Ia digambarkan tegar sekuat karang, mampu membunuh lawannya yang jahat tanpa seorang pendamping. Ia berdiri sendiri membesarkan perguruan silat tanpa interupsi dari pihak lain. Ia berjiwa ksatria dengan mampu mengemban amanah guru yang memintanya untuk meneruskan perguruan silat. Sebab, jika silat tidak dikuasi oleh dan diturunkan kepada orang baik, kosekuensinya semakin banyak manusia tak berdaya yang mati.

Di lain sisi, ia memiliki kelembutan seperti seorang Ibu. Ia merawat anak-anak lawan yang ia bunuh sebagai bentuk pertanggungjawaban. Apalagi ia sangat menyayangi Angin (Aria K) yang dibuang oleh orang tuanya. Sebab, merawat Angin adalah bentuk penyesalannya akibat menelantarkan Elang.

Cempaka sukses membuat saya terkesima dengan karakternya, mengaburkan batas feminitas dan maskulinitas. Membuat dirinya sebagai perempuan yang tegar tapi tetap lembut, pemberani tapi tetap baik. Saya jatuh cinta pada Cempaka.

Pria Lembut
Serupa dengan perempuan, pria (pada umumnya dalam industri film) digambarkan memiliki sebuah stereotype dengan ciri-ciri maskulinitas : rasional, pendirian kuat, menjadi pemimpin, ambisius, berorentasi pada pencapaian, dan tangguh.

Naga Putih rupanya enggan menjadi pria seperti itu. Ia menolak sebuah pencapaian tertinggi dalam ilmu silat, sebuah jurus pamungkas 'Tongkat Emas Mengitari Bumi'. Pria 'normal' lainnya, seperti Biru (Reza Rahardian), akan mengejar sebuah pencapaian itu. Ambisi Naga Putih ia matikan sendiri bersama keinginannya untuk mengasingkan diri.

Perpaduan Feminitas dan Maskulinitas
Terkadang pikiran, sifat dan prilaku kita terkonstruksi oleh masyarakat dengan gender dan jenis kelamin. Seakan sifat dibagi menjadi dua, bertolak belakang dan biner. Tidak ada abu-abu atau warna lain. Tidak ada kepribadian lain selain 'menjadi wanita' atau menjadi pria'.

Menurut saya, sebagai manusia kita harus memiliki kedua sifat ini. Perbedaan sifat ini terkadang menyulitkan. Hal ini terjadi kepada saya. Terkadang saya ingin sekali menjadi lelaki karena mereka bisa bebas untuk kemana saja tidak perlu seorang pendamping atau teman perjalanan. Di  satu sisi saya yakin saya bisa menghadapi tantangan yang sama. Namun, super ego saya selalu menahan saya bahwa saya wanita dan tidak akan baik jika selalu pergi kemana-mana sendirian apalagi malam hari. Takut diperkosa itu salah satunya. Saya buat sebuah tafsir sendiri bahwa saya tidak akan kuat menghadapi pria-pria dan orang-orang asing yang bisa saja mencuri apa pun dari saya dan menjahati saya. Akhirnya, saya mengalah untuk menuruti konstruksi wanita yang lemah dan butuh perlindungan.

Tentunya tidak selamanya saya bisa berkompromi dengan feminitas. Terkadang justru saya dipaksa untuk menjadi maskulin. Apalagi jika tidak ada yang bisa saya andalkan di lingkungan saya. Sehingga saya harus menjalankan peran-peran maskulin, seperti membawa barang-barang berat (dalam hal ini menjadi kuat) , memimpin sebuah kelompok, dan mengedepankan rasionalitas ketika perasaan saya terpaksa harus disembunyikan. Lama kelamaan saya menyadari bahwa memiliki perpaduan antara kedua kelompok sifat ini adalah hal yang penting dan menguntungkan. Kita bisa berkompromi dengan keadaan, kadang bisa selembut sutra, kadang bisa sekeras batu karang. Sehingga, kita tidak perlu sangat bergantung pada orang lain. Hal inilah yang hadir dalam film silat ini dimana wanita tidak melulu hanya lemah dan lembut. Cempaka justru kuat dan lembut. Begitu pun Naga Putih, pria kuat yang memiliki welas kasih untuk membesarkan anak, ia juga tak butuh seorang tambahan untuk membesarkan anak. Siapa yang tidak ingin memiliki keseimbangan tersebut?




P.S : Perlu dicatat tidak tergantung pada orang lain bukan berarti tidak membutuhkan orang lain. As human beings, we need others for living, but when there's no one who could be relied upon, you can stand up for your self. 

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut