Kamis, 10 Juli 2014

Salam Dua Jari

          Saya tahu kedua tokoh dari nomor dua jauh sebelum saya memiliki hak untuk memilih. Saya mengetahui Jusuf Kalla sejak pilpres tahun 2004 dengan image nya kala itu tegas dan cepat. Sehingga pada pilpres pada tahun 2009, ia juga menggunakan tagline yang sama dengan imagenya  ‘lebih cepat, lebih baik’. Ayah saya termasuk tim sukses SBY-JK di daerah Sumatra Barat kala itu (thn 2004). Tak jarang rumah kebanjiran barang-barang kampanye. Meskipun ayah tim sukses, ayah tidak pernah menyuruh keluarganya untuk pro-JK. Ibu saya saat itu mendukung Amien Rais. Semenjak masa kampanye,  saya pun menjadi familiar dengan tokoh JK dan saya pantau terus aktivitas politiknya. Saya baca artikel-artikel terkait dengan dirinya. Satu hal yang menyentuh saya adalah ketika ia mendamaikan GAM di Helsinki. Hal ini yang paling membekas karena saya melihatnya langsung di TV real time. Seorang tokoh yang menyatukan NKRI secara kongret bukan cuma propaganda. Saya termasuk orang yang memilih jalur damai daripada jalur kekerasaan atas nama apapun. Selain itu, penanganan Tsunami yang tergolong cepat dan terpadu juga menarik perhatian saya. Ada kebijakan lain tentunya yang ia lakukan dan di nilai kontroversial, seperti http://www.tempo.co/read/news/2014/05/19/090578702/Jadi-Cawapres-Ini-Daftar-Kebijakan-Kontroversi-JK. Waktu itu, pemerintahan terasa sedikit ‘bergairah’ karena banyaknya inovasi-invoasi yang diciptakan. Ketika masuk pada pilpres selanjutnya, tahun 2009, JK mengajukan diri sebagai Presiden. Sebelumnya, JK diisukan akan bergabung kembali ke SBY, namun ternyata SBY memilih Boediono. Saya ragu JK akan terpilih mengingat personality  JK berbeda dengan SBY. JK gak basa-basi dan tegas (mungkin kalo sekarang mirip Ahok, cuma kyknya gak sekeras Ahok). Beda sama SBY. Sebab, pemilih Indonesia jarang yang memperhatikan misi dan visi. Mereka cendrung melihat citra calon presiden, seperti gagah atau tidak, berwibawa atau tidak, pakaiannya rapi atau tidak dan sebagainya. Ya, predisksi saya benar, JK kalah. Saya tetap pantau aktivitasnya. Selepas menjabat menjadi wakil presiden, ia malah menjadi ketua PMI dan ketua Dewan Masjid Indonesia. Waw. Mana ada mantan wakil presiden yang seaktif beliau. Yang masih memberikan waktu luang untuk aktivitas sosial. Beberapa alasan inilah yang membuat saya simpati dengan JK.
Saya mengetahui Jokowi ketika berbincang dengan tante saya yang berasal dari Solo. Waktu itu, sebuah majalah memuat profilnya sebagai salah satu wali kota terbaik dan saya tanyakan kepadanya. Tante saya membenarkan hal itu. Ia bilang bahwa semenjak Jokowi jadi wali kota banyak sekali festival-festival yang diadakan di kota tersebut. Wah, seru sekali. Saya termasuk orang yang menyukai seni, termasuk festival seni. Tambahnya, Jokowi beberapa kali tiba-tiba muncul ditengah kerumunan tanpa pengawalan. Sosoknya dekat dengan rakyat. Pada waktu itu, blusukan bukanlah prilaku yang wajar bagi pejabat RI (kecuali masa pemilihan) dan waktu itu bukanlah masa pemilu. Berikutnya, ia diisukan untuk menjadi gubernur DKI. Saya memilih dia karena tante saya tersebut. Saya ingin Jakarta seperti Solo : banyak festival. Hahaha sangat cetek pikiran kala itu. Saya gak peduli sama ekonomi, banjir dan  bla bla bla bla. Toh gak kerasa secara langsung sama. Akhirnya, Jokowi menang pilkada dan ternyata kinerjanya diatas ekspetasi saya. Dua hal yang sempat saya rasakan : (1) Urus KTP cepat (2) Oom saya dapat dioperasi dengan biaya yang murah (sebenarnya bisa gratis tapi penyakit oom saya sangat langka sehingga membutuhkan biaya yang mahal dan KJS tidak menyanggupi membayar semua). Terkait nomor (1) : Dompet saya hilang, lalu saya mengurus KTP ke kelurahan DKI. Mereka menangani dengan cepat. Dibandingkan dengan daerah Bekasi, domisili saya, mengurus surat di Bekasi sangatlah lama. Jujur saya mengurus surat dari akhir 2013, sampai sekarang belum jadi. Merasakan kemajuan di DKI (meskipun gak banyak-banyak amat karena baru sebentar), saya termasuk orang yang menginginkan Jokowi menjadi gurbernur saja. Namun, pikiran saya berubah karena inilah momentum yang tepat bagi Jokowi. Jika kita tunda, sampati lima tahun kedepan, bisa saja Jokowi telah berubah, bisa jadi ia tidak bisa diandalkan sebaik ini. Atau mungkin bisa saja masyarakatnya yang berubah. Kita masih ingat bukan pejabat ideal menurut masayarakat 10 tahun yang lalu seperti apa? Seperti SBY : Gagah. Sekarang? Blusukan.
  Selain itu, hal yang menguatkan dukungan saya kepada Jokowi adalah banyaknya seniman yang mendukungnya. Seniman adalah warga negara yang paling apatis kalau menurut saya. Banyak dari mereka yang cendrung tidak peduli kepada politik  karena mereka sudah tidak lagi percaya pejabat yang jarang memperjuangkan ruang-ruang bagi seniman yang menginginkan kemerdekaan berkespresi. Bukan hanya seniman, tetapi para aktivis yang selama ini dibungkam padahal mereka memihak kaum minoritas. Tokoh-tokoh seniman dan aktivis yang tidak percaya politik memilih Jokowi. Ada harapan disana bagi mereka dan juga bagi saya... Dalam salah satu debat Jokowi dengan mata yang menyala menjelaskan dukungannya kepada industri kreatif. Mengapa saya peduli sekali dengan seniman? Seni merupakan wadah untuk kita merefleksi diri. Seni teater yang sering saya tonton, sering sekali membuat sebuah ruang untuk mengkritik keadaan akan kondisi diri dan bangsa. Bangsa yang besar bangsa yang menghargai refleksi diri dari masyarakatnya. Itu dari segi filosofinya, dari segi ekonominya? Korean wave dan industri seni di Amerika termasuk pendapatan yang besar bagi negara mereka. Industri ini juga sangat-sangat sustainable bisa dinikmati berkali-kali tanpa habis, namun tetap mendulang keuntungan. Dari sisi ekonomi ini sangat menguntungkan dari pada hanya bertumpu pada komoditas tambang dan minyak yang cendrung cepat habis. Banyak negara yang bertumpu pada pemasukan wisata dan industri kreatifnya. Aktivis pun akan terdengar (insha Allah) jika Jokowi terpilih meningat JK adalah sosok pendamai yang telah mendamaikan wilayah konflik seperti Aceh dan Ambon. Oh ya satu lagi, orang-orang yang saya idolakan masuk kubu Jokowi, seperti Quraish Shihab, Anies Baswedan, Budiman Sudjatmiko, JRX dan Taufik Basri.
  Hal ini mungkin tidak memberikan alasan yang terlalu 'serius' dengan hal-hal berbau politik atau ekonomi atau misi dan visi mereka, tapi hal ini yang saya betul-betul alami terkait kedua tokoh dan saya mau merasakannya sekali lagi.
        Pun ini sebuah opini dan alasan saya. Saya hanya ingin berbagi cerita bukan untuk mengadu argumen. Terima kasih. Cheers :)

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut