Jumat, 29 Mei 2015

Romantis Imajiner

Padaku datanglah seorang anak yang bertanya, "Puan, di dunia ini, hal apa yang paling romantis?"

***
Tiada yang lebih romantis dari nasionalisme.
Belum pernah bertemu tapi merasa satu
Belum pernah bersama tp merasa bersaudara
Belum pernah melengkapi tp merasa saling memiliki

Merasa terhubung
Dengan segala pemikiran dari bung-bung sekalian
Merasa agung
Dengan segala simbol-simbol yang tak ubahnya mitos
Seperti, kita dahulu kala

"Tapi, Puan simbol adalah simbol. Tak memberi apa pun kecuali makna untuk disembah. Bukankah romantis harus resiprokal?"

Lebur

Kita adalah kita
Terbelenggu akan warna
Terjebak akan pusara
Terpanggang dalam amarah
Biasakah kita menjadi lebih sederhana
Menjadi diri yang bukan lagi tergantung akan ke-kita-an?
Menjadi kita yang sebenarnya tidak kita-kita amat?

Minggu, 17 Mei 2015

Dalam APTB

Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, tot
Din, Din, Din
Tet, Tot, Tet, Tot

Anak mati meninggalkan kehampaan
Dalam tubuh seorang yang tak lagi punya api gairah
Kosong, matanya kosong
Menatap ribuan besi di hamparan aspal
Berlarian dengan masa
Bertempur dengan abu jalanan
Memikirkan bagaimana kehidupan esok yang begitu begitu saja
Lantas buat apa dipikirkan?
Bukannya begitu-begitu saja?

Buat apa dipikirkan?
Biarkan tenggelam dalam din din din tet tot tet tot.

Minggu, 10 Mei 2015

Sendiri Bersama

            Hari ini aku mengerjakan tugas di sebuah kedai kopi menengah (baca : tidak mahal-mahal amat). Tugasku sangat membosankan : menulis verbatim hasil wawancara untuk mata kuliah penelitian. Setelah mencapai puncak bosan, aku melihat sekeliling, depan ku AC dengan freon yang masih baru nampaknya, sangat dingin. Ku lihat sampingku terdapat kedua kolega yang setengah-setengah mengobrol dan setengah-setengah mengerjakan tugas mereka. Mungkin juga mereka dikejar deadline sama seperti ku. Tak ada interaksi, padahal kami satu meja. Hanya satu lirikan yang wanita itu diberikan ketika aku memakan samosa ayam. Aku yakin ia ingin memakan samosa juga karena AC semakin dingin dan bisa jadi ia lapar. Tapi suara yang ku dengar dari mereka hanya bunyi tuts keyboard laptop, bukan ajakan berkenalan atau ajakan lainnya. Semakin jengah, aku buka social media.

            Aku berselancar ke dunia maya. Melihat lakon-lakon yang menampilkan foto-foto. Cantik, tampan, dan indah. Tak jarang foto-foto kuberikan 'love'. Namun, ada satu foto yang membuat ku heran. Foto yang diungggah oleh salah satu sutradara favorit. Fotonya berisi dua gadis kecil dengan muka canggung dan foto tersebut memiliki caption : "Pertemuan di satu sore, tanpa jabat tangan dan kenalan, ku abadikan". Aku menerka bagaimana ia mengambil foto tersebut. Tanpa kenalan? Meminta mereka memberhentikan aktivitas dan menyodorkan kamera ke muka mereka? Aneh betul rasanya.

           Kita manusia-manusia digital rasanya lebih nyaman berinteraksi dengan media dibanding dengan manusia. Ini baru celoteh ku yang memegang smartphone sejak kuliah dan menggunakan internet sejak SMP. Bagaimana dengan keponakanku yang sedari lahir sudah berhadapan dengan kamera dan foto mereka diungggah kemana-mana. Bahkan mungkin temanku sudah merasa akrab dengan foto keponakanku sebelum mereka bertemu. Mungkin suatu saat keponakanku tidak lagi bisa menatap mata manusia, ia lebih akrab menatap titik kecil bernama lensa pengganti mata-mata manusia yang tak sanggup lagi berinteraksi secara langsung.

***

             Kita merasa kita telah bersama secara fisik duduk di meja yang sama, tapi kita sendirian menatap layar-layar. Kita merasa telah mengenal dengan memberikan emoticon satu dengan lainnya, tapi kita sebenarnya sendirian di kamar-kamar, di kedai-kesai. Kita merasa bersama, tapi sebenarnya kita tak lebih dari manusia dengn kesendirian.

***

            Dan akhirnya aku kembali menyelesaikan verbatimku.

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut