Senin, 28 Desember 2015

Mati Rasa

"Lo kenapa? Stress?" 
"Gak kenapa-kenapa. Cuma gue gak bisa ngerasain apapun. Seneng nggak, sedih nggak"
"Itu stress namanya! Keliatan dari postingan Instagram lo. Apalagi yang nonton TV di kamar"

Rasanya sudah lupa bagaimana rasanya punya rasa.
Bagaimana pertama kali mendengarkan lagu-lagu enak.
Bagaimana suapan pertama kari Jepang kesukaan
Bagaimana melihat gebetan menyunggingkan senyum
Bagaimana mendengar pengumuman ditolak

Saya lupa rasanya.

Mungkin ini investasi dari apa yang saya harapkan dan lakukan selama ini. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menyukai seorang sahabat. Tapi, seperti jalan di tempat, hubungan kami hanya sampai teman dekat. Kecewa, saya pun memutuskan untuk tidak mempunyai teman pria dahulu dan tidak mau terlalu serius dalam melihat hubungan. Saya sadari saya yang waktu itu  saya yang takut bahagia. Beberapa waktu kemudian, saya melihat sebuah postingan bahwa hormon yang menghasilkan rasa senang juga menghasilkan rasa sedih. Pun saya juga mempercayai bahwa, "ketika kamu tertawa terbahak-bahak hari ini, besok kamu akan menangis tersedu". Sederhananya saya berpikir, kalau saya bahagia, saya juga akan sedih dan saya sebal kalau sedih. Akhirnya, saya memutuskan untuk membatasi rasa bahagia saya, supaya ketika sedih saya tidak terlalu terpukul. Saya harus kembali ke titik netral kembali.

Kepercayaan untuk menghilangkan perasaan pun juga semakin kuat jika dihubungkan dengan historis yang lebih jauh lagi. Sedari kecil Ibu selalu menanamkan untuk selalu menjadi 'kuat', berperilaku pantas, tahu tempat, dan tidak berlebihan dalam menunjukan ekspresi. Saya pernah merengek ke Ayah dan kakak-kakak saya untuk pulang karena saya ingin menunaikan Ujian Nasional SMP. Saya merasa takut waktu itu dan saya ingin rumah ramai agar ketakutan saya berkurang. Saya bisa melemparkan ketakutan itu ke orang rumah lainnya, tidak menjadi beban sendiri. Namun, Ibu menolaknya. Ibu bilang: "Semua orang punya urusan masing-masing. Kamu harus menghadapi urusanmu sendiri. Jangan mengganggu orang lain, apalagi bergantung pada mereka". Nasihat ini juga yang saya ingat ketika pulang menangis ke Ibu. Teman baik saya harus kuliah di Amerika Serikat. Saat itu rasanya saya sedih sekali, saya pertama kali merasakan patah hati (bagi saya jatuh cinta bukan hanya perkara seksual).  Ibu bilang : "Orang datang dan pergi. Cuma diri kita yang mampu menghidupi diri sendiri. Sudah puasin saja dulu nangisnya". Saya harus redam dan melahap ketakutan, kegelisahan, dan kekecewaan saya sendirian.

Ibu memang ada benarnya. Semakin ke sini saya semakin sadar betapa saya harus mengandalkan diri saya sendiri dalam berbagai situasi. Apalagi setahun belakangan ini, saya bertemu banyak sekali orang dan hubungan kami cenderung singkat, dari sebulan hingga satu hari, bahkan beberapa jam. Tidak hanya perjumpaan, tetapi juga perbincangan yang dalam hingga melakukan self-disclosure. Bagi saya yang memiliki tingkat social anxiety yang tinggi, self-disclosure hanya bisa dilakukan dengan orang-orang yang dekat atau setidaknya ketika saya merasa nyaman.

 Tapi ini, saya sudah melakukan banyak sekali self-disclosure kepada orang asing. Memang sih saya sudah merasa nyaman dalam percakapan, tetapi besok-besok saya tidak tahu dapat bertemu lagi kepada mereka atau tidak. Saya bisa merasa senang sekali ketika saya bisa mengobrol dengan nyaman dan topik yang menarik. Namun, ketika berpisah, saya tidak tahu apakah saya bisa bertemu lagi dengan mereka atau tidak. Saya menjadi merasa sedih. Apalagi ketika masuk ke kamar rasanya kosong sekali. Saya berusaha menetralkan lagi rasa bahagia saya untuk saya merasa tidak sedih.

Hal yang paling menyedihkan adalah saya mulai belajar untuk tidak peduli, sebagai kosekuensi saya tidak memiliki rasa. Saya ini senang sekali mendengar orang bercerita apa saja, mulai dari ilmu pasti, seni, ilmu sosial, media, filosofi, percintaan, rumah tangga, properti dan lainnya. Sehingga terkadang saya menggunakan cara pandang ilmu sosial dalam melihat fenomena ilmu pasti dan sebaliknya. Hal yang mengganggu pikiran saya adalah terkadang dalam percakapan mereka suka tidak adil dalam berpikir. Hal ini yang menjadikan saya kesal dan akhirnya menghantarkan saya ke dalam dua pilihan : diam tidak peduli atau menyemprot orang itu. Namun,pilihan pertamalah yang sering saya ambil. Sebab, terkarang pikiran saya suka dianggap aneh oleh teman-teman karena kebiasaan saya melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang tadi. Saya berusaha untuk tidak peduli. Saya meredam kekesalan saya dengan umpatan Ah bodo amat!

Namun, manakah yang lebih nikmat: punya rasa atau mati rasa?

Adakah cara yang lebih tepat untuk perkara rasa?
Perlukah air untuk menumbuhkan rasa ini?
Perlukah sebuah batu untuk menjadi poros
dalam perubahan rasa yang begitu cepat dan ekstrem?
Atau aku  hanya butuh tanah tempat untuk kembali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut