Rabu, 25 November 2015

Coconut Syndrome: Coklat di Luar, Putih di Dalam

Aneh rasanya. Melihat teman-temanku melakukan gestur-gestur intim: berpelukan, mencium pipi satu sama lain atau sekedar bermanja-manjaan sambil menatap langit-langit berdebu. Sejujurnya tak ada yang salah. Itu  hak mereka. Tapi aku terganggu, terutama ketika melihat kulit gelap berminyak mereka saling bersentuhan, atau ketika bibir gelap menyentuh pipi pasangan masing-masing. Aneh. Aku merasa terganggu sekali lagi. 

Tapi,

Aku tidak tabu akan seksualitas. Bagiku, seksualitas adalah bagian dari kemanusian. Aku menerima adegan-adegan intim yang ku tonton lewat film berbintang pemain dari Amerika Serikat dan Eropa. Tapi,ada pengecualian. Logikaku merasa terusik ketika hubungan intim berganti menjadi orang Asia Selatan atau Asia Tenggara- yang kulitnya berwana gelap dan semok - atau oom-oom tua berkumis yang menggerayangi wanita muda semok di sinema televisi. Bagiku, 'pemain' adegan intim pun harus tampan dan cantik, berbadan langsing dan sickpack. Aku mulai merasa bahwa aku sebenarnya asing dengan adegan-adegan seksualitas yang tidak dilakukan oleh si kulit putih. Aneh, padahal kulitku sendiri coklat gelap. 

Aku merasa mungkin karena mereka yang melakukan adegan intim secara eksplisit di film yang ku tonton. Terkadang aku merasa mereka yang pantas - dan enak dipandang -  untuk melakukan kegiatan ini adalah si kulit putih. Aku tidak merasa asing dengan mereka yang berkulit putih untuk bercumbu, tapi aku malah asing pada mereka yang berkulit gelap memadu kasih. 


Hahaha. Aneh.

Aku asing dengan tubuhku sendiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut