Rabu, 21 Januari 2015

Leburnya Feminitas dan Maskulinitas dalam Pendekar Tongkat Emas

     "Apakah kamu bersedia bersumpah, Cempaka?"
     "Saya bersumpah"



Adegan ini berhasil membuat saya berhenti menikmati film silat, Pendekar Tongkat Emas, sejenak. Tiba-tiba,  pikiran saya diselak dengan materi perkuliahan feminisme dalam Teori Media dan diskusi dalam Industri Budaya. Pasalnya, dengan mata yang berbinar-binar, Cempaka muda (Prisia Nasution), menyatakan bersedia untuk menurunkan jurus perguruan silat, Perguruan Tongkat Emas. Sedangkan, pasangannya, Naga Putih (Darius Sinatria), lebih memilih untuk mengasingkan diri dari dunia silat sambil membesarkan anak. Naga Putih enggan untuk meneruskan perguruan karena ia menolak untuk membunuh orang, meskipun orang tersebut jahat (saya duga ia memutuskan untuk berhenti karena sisi humanisnya telah terganggu). Bersama Cempaka, pewaris tongkat emas, mereka berdua membuat kesepakatan dengan sebuah sumpah. Cempaka akan meneruskan kejayaan perguruan sikat tongkat emas dengan kosekuensi ia harus terus membunuh orang jahat demi kestabilan masyarakat dan harus berpisah dengan anaknya, Elang. Sementara itu, Naga Putih mengasingkan diri, membesarkan anak dan tidak mau ikut campur dengan dunia persilatan.

Perempuan Pemberani yang Baik
Banyak pihak yang meyakini bahwa industri film adalah industri yang dikuasi pria. Di mana segala sudut pandang yang di ambil berasal dari kaum pria. Perempuan yang 'baik' digambarkan menggoda, berpakaian mengundang hasrat, lemah, tidak memiliki pendirian yang kuat dan selalu ada di belakang untuk menemani pria. Adapun perempuan digambarkan dengan kemandirian, kehebatan dan memiliki kekuatan, ia dimunculan sebagai sosok villian sebagai bentuk bahwa perempuan yang mandiri adalah menyimpang. Tentu masih ingat, Madison Lee dalam film Charlie Angels, seorang mantan angel yang pintar dan tangguh luar biasa tapi digambarkan sebagai sesosok yang jahat. Dalam dunia patriarki, hal ini lumrah dilakukan sebab kembali ke awal industri film adalah dunia pria.

Namun, Cempaka adalah sebuah anomali. Ia digambarkan tegar sekuat karang, mampu membunuh lawannya yang jahat tanpa seorang pendamping. Ia berdiri sendiri membesarkan perguruan silat tanpa interupsi dari pihak lain. Ia berjiwa ksatria dengan mampu mengemban amanah guru yang memintanya untuk meneruskan perguruan silat. Sebab, jika silat tidak dikuasi oleh dan diturunkan kepada orang baik, kosekuensinya semakin banyak manusia tak berdaya yang mati.

Di lain sisi, ia memiliki kelembutan seperti seorang Ibu. Ia merawat anak-anak lawan yang ia bunuh sebagai bentuk pertanggungjawaban. Apalagi ia sangat menyayangi Angin (Aria K) yang dibuang oleh orang tuanya. Sebab, merawat Angin adalah bentuk penyesalannya akibat menelantarkan Elang.

Cempaka sukses membuat saya terkesima dengan karakternya, mengaburkan batas feminitas dan maskulinitas. Membuat dirinya sebagai perempuan yang tegar tapi tetap lembut, pemberani tapi tetap baik. Saya jatuh cinta pada Cempaka.

Pria Lembut
Serupa dengan perempuan, pria (pada umumnya dalam industri film) digambarkan memiliki sebuah stereotype dengan ciri-ciri maskulinitas : rasional, pendirian kuat, menjadi pemimpin, ambisius, berorentasi pada pencapaian, dan tangguh.

Naga Putih rupanya enggan menjadi pria seperti itu. Ia menolak sebuah pencapaian tertinggi dalam ilmu silat, sebuah jurus pamungkas 'Tongkat Emas Mengitari Bumi'. Pria 'normal' lainnya, seperti Biru (Reza Rahardian), akan mengejar sebuah pencapaian itu. Ambisi Naga Putih ia matikan sendiri bersama keinginannya untuk mengasingkan diri.

Perpaduan Feminitas dan Maskulinitas
Terkadang pikiran, sifat dan prilaku kita terkonstruksi oleh masyarakat dengan gender dan jenis kelamin. Seakan sifat dibagi menjadi dua, bertolak belakang dan biner. Tidak ada abu-abu atau warna lain. Tidak ada kepribadian lain selain 'menjadi wanita' atau menjadi pria'.

Menurut saya, sebagai manusia kita harus memiliki kedua sifat ini. Perbedaan sifat ini terkadang menyulitkan. Hal ini terjadi kepada saya. Terkadang saya ingin sekali menjadi lelaki karena mereka bisa bebas untuk kemana saja tidak perlu seorang pendamping atau teman perjalanan. Di  satu sisi saya yakin saya bisa menghadapi tantangan yang sama. Namun, super ego saya selalu menahan saya bahwa saya wanita dan tidak akan baik jika selalu pergi kemana-mana sendirian apalagi malam hari. Takut diperkosa itu salah satunya. Saya buat sebuah tafsir sendiri bahwa saya tidak akan kuat menghadapi pria-pria dan orang-orang asing yang bisa saja mencuri apa pun dari saya dan menjahati saya. Akhirnya, saya mengalah untuk menuruti konstruksi wanita yang lemah dan butuh perlindungan.

Tentunya tidak selamanya saya bisa berkompromi dengan feminitas. Terkadang justru saya dipaksa untuk menjadi maskulin. Apalagi jika tidak ada yang bisa saya andalkan di lingkungan saya. Sehingga saya harus menjalankan peran-peran maskulin, seperti membawa barang-barang berat (dalam hal ini menjadi kuat) , memimpin sebuah kelompok, dan mengedepankan rasionalitas ketika perasaan saya terpaksa harus disembunyikan. Lama kelamaan saya menyadari bahwa memiliki perpaduan antara kedua kelompok sifat ini adalah hal yang penting dan menguntungkan. Kita bisa berkompromi dengan keadaan, kadang bisa selembut sutra, kadang bisa sekeras batu karang. Sehingga, kita tidak perlu sangat bergantung pada orang lain. Hal inilah yang hadir dalam film silat ini dimana wanita tidak melulu hanya lemah dan lembut. Cempaka justru kuat dan lembut. Begitu pun Naga Putih, pria kuat yang memiliki welas kasih untuk membesarkan anak, ia juga tak butuh seorang tambahan untuk membesarkan anak. Siapa yang tidak ingin memiliki keseimbangan tersebut?




P.S : Perlu dicatat tidak tergantung pada orang lain bukan berarti tidak membutuhkan orang lain. As human beings, we need others for living, but when there's no one who could be relied upon, you can stand up for your self. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut