Rabu, 25 November 2015

Memori tentang Hujan

Impresiku terhadap hujan biasa saja, tidak mencaci atau memuja. Biasa saja. Tapi, tiap mendengar suara hujan, tiap mencium bau tanah yang lembab, dan terciprat tampias atau ciptratan becek hujan, aku selalu terbawa pada kenangan-kenangan tertentu dan, lucunya, kenangan itu terbagi menjadi beberapa fase kehidupanku yang selalu aku asosiasikan dengan jenjtang pendidikan ku. Misalnya....

SD Bekasi 
Memori yang ku ingat tiap hujan adalah ketika aku membereskan peralatan colorguard yang terkena air hujan dari atap yang bocor. Atau setelah hujan selesai, kami, anggota Drum Band GSA, memesan bakso kampung yang harganya 3000 rupiah. Atau ketika hujan lebat dan akhirnya tempat latihan kami banjir dan kami terpaksa memberhentikan latihan kami. 

SD Jakarta
Adegan yang selalu ku ingat adalah hujan ketika kami ingin melakukan kegiatan pramuka di lapangan dengan sekolah. Hujan sangat lebat dan akhirnya tanah menjadi gembur. Sepatu ku penuh dengan tanah. Atau ketika aku harus pulang jalan kaki karena jemputanku mogok akibat banjir di komplek Antilop. 

SMP Jakarta
Waktu itu saya, Komang, dan Alida sehabis mengikuti perlombaan Sains atau Matematika (aku lupa). Hujan turun begitu deras dan kami terjebak tidak bisa pulang. Kami naik ke lantai dua/tiga. Bermain dengan tampias, sambil duduk-duduk melihat hujan.

SMA Jakarta
Waktu ku di 8, jarang ada hujan, jujur. Mungkin aku satu-satunya angkatan yang beberapa tahun terakhir ini yang tidak merasakan banjir besar di 8. Tapi, aku tetap memiliki gambaran hujan ku bersama teman-teman SMA ku. Ketika aku mendaki Pangrango di bulan Desember. Hujan lebat. Aku kedinginan. Tapi tidak ada yang membuat ku kagum kecuali ketika melihat pohon-pohon indah di antara Kandang Badak dan Madalawangi. Setelah kedinginan dan mamakai kaos kaki yang lembab, aku melihat kabut yang menyelimuti Mandalawangi.

Universitas Depok
Adegan yang selalu kuingat ketika kuliah adalah ketika aku melihat hujan dari lantai dua Gedung G FISIP pukul 14.00 ketika pelajaran Mata Kuliah Agama Islam. 

Mimpi

Kemarin aku bermimpi. Berbeda dari biasanya, aku bermimpi menggunakan Bahasa Inggris pada sebuah percakapan dengan Diza, temanku. Satu sisi, aku senang. Artinya, Bahasa Inggris telah sampai pada alam bawah sadarku. Tapi, satu sisi lain, aku sedih. Artinya, kekasihku memiliki saingan dalam alam bawah sadarku. 

Coconut Syndrome: Coklat di Luar, Putih di Dalam

Aneh rasanya. Melihat teman-temanku melakukan gestur-gestur intim: berpelukan, mencium pipi satu sama lain atau sekedar bermanja-manjaan sambil menatap langit-langit berdebu. Sejujurnya tak ada yang salah. Itu  hak mereka. Tapi aku terganggu, terutama ketika melihat kulit gelap berminyak mereka saling bersentuhan, atau ketika bibir gelap menyentuh pipi pasangan masing-masing. Aneh. Aku merasa terganggu sekali lagi. 

Tapi,

Aku tidak tabu akan seksualitas. Bagiku, seksualitas adalah bagian dari kemanusian. Aku menerima adegan-adegan intim yang ku tonton lewat film berbintang pemain dari Amerika Serikat dan Eropa. Tapi,ada pengecualian. Logikaku merasa terusik ketika hubungan intim berganti menjadi orang Asia Selatan atau Asia Tenggara- yang kulitnya berwana gelap dan semok - atau oom-oom tua berkumis yang menggerayangi wanita muda semok di sinema televisi. Bagiku, 'pemain' adegan intim pun harus tampan dan cantik, berbadan langsing dan sickpack. Aku mulai merasa bahwa aku sebenarnya asing dengan adegan-adegan seksualitas yang tidak dilakukan oleh si kulit putih. Aneh, padahal kulitku sendiri coklat gelap. 

Aku merasa mungkin karena mereka yang melakukan adegan intim secara eksplisit di film yang ku tonton. Terkadang aku merasa mereka yang pantas - dan enak dipandang -  untuk melakukan kegiatan ini adalah si kulit putih. Aku tidak merasa asing dengan mereka yang berkulit putih untuk bercumbu, tapi aku malah asing pada mereka yang berkulit gelap memadu kasih. 


Hahaha. Aneh.

Aku asing dengan tubuhku sendiri.






Senin, 09 November 2015

Pegabdian pada Bumi

Ia mengajariku menghormati apa yang tubuh dari tanah, dan yang rebah di lantai lautan. Pada akhirnya, kita semua kembali ke tanah. Adakah pengabdian lebih mulia selain memberikan seluruh hidupmu pada bumi? Dan adakah yang lebih nista ketimbang pembunuh makhluk-makhluk tak berdosa? (Laksmi Pamuntjak dalam Aruna dan Lidahnya Hlm. 270-271)

Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut