Alan memeluku. Aku pun merunduk dan tak sengaja mencium
rambutnya. Seperti biasa, bau keringat bercampur bau tengik tertepa matahari.
Pantas saja. Ia masih mengenakan baju olahraga birunya yang dekil terkena
kotoran. Ia menangis. Mungkin juga tidak. Mungkin matanya hanya sembab. Ia
menatapku dengan senyuman jahilnya yang merasa bahwa ia bocah tertampan
seantero jagat. Kemudian aku tak bisa melihat senyumnya lagi karena ia sibuk memaikan abu dan pasir di tanah. Tak lama, ia juga memutar-mutar tanganku
dan berkata, “Jangan pergi kak”. Aku
membisu. Aku terbangun.