“Sudah sampai dimana hijrah
kita Gus?”
“Mungkin
sampai Arafah, gersang dan sepi. Mungkin ini saatnya meminta Allah untuk
menemani”
Dengan latar belakang lukisan pemandangan pelataran Keraton, H.O.S
Tjokroaminoto (Reza Rahadian) dan Agus Salim (Ibnu Jamil) berdialog secara
teatrikal dan metaforis. Ketika itu, Serikat Islam semakin terpecah, SI Merah
dan SI Putih. Semua berantakan. Semua berpencaran. Maka, Cokro, sekali lagi,
menanyakan makna hijrah dan sudah sampai mana hijrah beliau. Adegan ini
merupakan adegan yang paling saya sukai. Cokro terlihat seperti manusia, tidak
lagi seperti dewa yang dielu-elukan masyarakat Semarang-Surabaya. Ia menjadi
manusia kembali : ragu akan takdir, ragu atas hijrah yang telah diambil.
***
Titik Tengah
Motivasi utama saya menonton film ini di bioskop sangat sederhana.
Saya ingin melihat apakah ada sosok Tirto Adhi Surjo (Minke) dimunculkan dalam
film ini. Mengingat salah satu sumbu dari pergerakan zaman Cokro adalah koran
terbitan Minke, Medan Priaji. Bahkan dalam buku Jejak Langkah dan Rumah Kaca,
nama Cokro sering kali disebut sebagai konco-konco
setelah Minke. Sebab, Minke salah satu pelopor yang membuat Serikat Prijaji yang
nantinya akan menginisiasi pembentukan Serikat Dagang Islam oleh H. Samanhudi
dan nantinya, SDI akan berubah menjadi SI oleh H.O.S Cokroaminoto. Jelas bagi
saya, Minke adalah ‘kakak kelas’ dari Cokro. Saya merupakan penganggum garis keras Minke
(tokoh gubahan Pram yang menceritakan TAM). Oleh karena itu, saya ingin melihat
apakah Garin mengikutsertakan Minke? Kalau iya, bagaimana wujudnya? Ternyata
harapan saya terlalu muluk. Minke tidak diadakan tokohnya. Tapi salah satu
pemain figuran yang berpakaian gamis (saya tidak tau namanya) menyebutkan nama
Minke, koran Minke sebagai referensi gerakan. Saya sudah merasa senang.
Mungkin pula, ketidakhadiran Minke disebabkkan karena terlalu dini
untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi hingga kemerdekaan Indonesia.
Sebab, Cokro ibarat jembatan yang menghubungkan organisasi awal (Budi Oetomo,
Syarikat Prijaji, Serikat Dagang Islam) berbentuk perkumpulan saja dengan organisasi yang telah tahu gerakan apa yang mereka bawa, bersifat politis, dan tahu
kemana tujuannya (PNI, PKI, Masyumi, dan PSI). Ia jembatan antara generasi TAM,
H. Samanhudi; dan Soekarno, Agus Salim, Muso, Kartosuwirjo dan Semaoen. Menceritakan
Cokro berarti juga menyinggung generasi sebelum dan sesudahnya. Jadi, pengangakatan
Cokro sebagai tokoh sentral menjadikan penuturan yang lebih luas dan lengkap
untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi.
Implikasinya, kehidupan Cokro yang penuh peristiwa penting
dipadatkan hanya menjadi dua setengah jam, padahal Cokro bertemu banyak tokoh penting
yang akhirnya hanya menjadi figuran. Saya yakin jika waktu film diperpanjang kehadiran
tokoh-tokoh ini lebih bermakna dan hidup. Jika Anda teliti, bahkan, film ini
menyertakan Matahari, seorang wanita penghibur yang bekerja sampingan menjadi
mata-mata (pernah dijadikan novel oleh Remy Sylado). Saya tidak menyadari
kehadirannya sampai pada satu adegan atasan Matahari menyuruhnya untuk
membuntuti Cokro. Belum lagi ada narator yang semakin memperbanyak aktor dalam
film ini, seperti Stella (Chelsea Islan) dan Bagong.
Utami dan
Para Pria Kece
Saya iri kepada Utami. Jujur. Bagaimana bisa ia dapat seatap
dengan pria-pria kece, seperti
Soekarno, Semaoen, Muso, dan Darsono. Melihat mereka berdiskusi tiap hari
dan melihat pria-pria pintar tersebut mondar-mandir di rumah sendiri berbicara tentang
gagasan? Bisa-bisa saya menguping tiap saat dan memandangi pria-pria tersebut.
Sudah mana, dalam film ini, pria-pria tersebut tampan-tampan, tentu aslinya
mungkin saja tidak setampan mereka. Hahaha.
Di sisi lain, saya kurang suka dengan Kusno. Mengapa harus Deva
Mahendra? Karena gambaran saya tentang Deva Mahendra telah tercampur oleh
perannya di Tetangga Masa Gitu yang bodoh, dan ngebanyol. Jadi, pikiran saya menolak untuk mengidentifikasikan
Deva dengan Kusno. Apalagi, ketika ada satu adegan yang Kusno mendekati Utami dan ia bercanda dengan Cokro, Istri Cokro(Putri Ayudya), dan Utami. Saat itu
Kusno sangat.......... Bastian (Deva di Tetangga Masa Gitu).
Saya meyukai Semaun (Tanta Ginting) dan Agus Salim (Ibnu Jamil). Mereka
berdua begitu pas sebagai figuran hidup Cokro. Mereka tidak banyak ambil
bagian, tapi terasa perannya. Saya menyayangkan Muso (Ade Firman Hakim) tidak
terlalu terlihat di film ini. Saya menonton beberapa kali pementasan Ade Firman
di Teater Koma, termasuk perannya yang terakhir di Legenda Ular Putih. Ia sangat
baik memerankan Kon Han Bun yang tidak berpendirian. Berdasarkan hal tersebut,
saya berharap bisa melihat perannya yang lebih banyak. Ternyata tidak. Bagaimana
dengan Cokro (Reza Rahardian) sendiri? Sangat pas. Itu saja. Ia benar-benar
aktor yang tidak memiliki cetakan, ia bisa jadi apa saja.
Menyajikan
Tjokro
Leila S.Chudori mengkritik film ini (di Majalah Tempo) karena
banyak adegan menyanyi sebagai cara untuk perpindahan waktu. Menurutnya, porsi
musikal tidak untuk film ini. Di satu sisi, saya setuju. Kebanyakan adegan
bernyanyi membuat semakin memperpanjang durasi film, mengurangi dialog, dan
menjadikan film ini lebih keliatan tidak garang atau serius (‘ya kali, masa
pahlawan nyanyi-nyanyi sih?’). Namun, entah mengapa kehadiran musikal dan kur
ini dapat menjadikan pesan-pesan yang berat menjadi lebih santai, menjadi distraction yang menghibur, dan mempertegas
bahwa ini bukan sumber sejarah, ini interpretasi Garin akan Cokro. Perlu
diingat bahwa ini film komersil sehingga akan sulit untuk tetap menarik
penonton Indonesia jika hanya
menghadirkan film yang penuh akan diskusi dan orasi tanpa menghadirkan suatu
yang menghibur. Tentu masih ingat GIE yang kurang laku di pasaran. Musik salah
satu variabel yang akan membuat penonton merasa film ini tidak terlalu serius
dan mengihur..
Berbicara mengenai interpretasi sejarah, saya sebagai orang yang
menyukai sejarah (meskipun bukan ahli sejarah) lebih mengharapkan adegan yang
lebih panjang. Terutama ketika ada adegan komunitas Tionghoa yang memotong rambutnya.
Kalau saya tidak salah baca dari Tetralogi Buru, pemotongan rambut panjang-kepang
orang Tionghoa merupakan protes angkatan muda kepada angkatan tua komunitas
Tionghoa akan sebuah revolusi di tanah mereka dan itu sarat makna karena Tionghoa memiliki simbol akan rambut
tersebut (ini kalo gak salah sih, udah lama juga bacanya). Namun, adegan itu
tidak terlalu dijelaskan, tiba-tiba cuma ada adegan potong rambut.
Menurut saya juga terlalu banyak adegan muka melas pribumi. Terlalu
eksploitatif. Mungkin film ini ingin menggambarkan perbedaan power dan relasi
kuasa antara prijaji dan pribumi jelata. Tapi, kurang pas saja bagi saya. Sangat
tidak enak dilihat.
***
‘Ingatlah
ini ketika kau ingin berhijrah : setinggi-tingginya ilmu, Sepintar-pintar
strategi, Semurni-murninnya Tauhid’
P.S : I found this article has unstructured and non-comprehensive plot. I'm sorry for inconvenience. I made this in hurry before I forget my impression about this movie. Beside, I was too lazy to make a good one.