Jadi begini, tiap sore menjelang malam saya selalu memiliki kebiasan baru menonton sinetron dengan Ibu dan Ayah. Tiba-tiba ketika pariwara Ibu saya memulai percakapan (yang saya parafrase-kan) :
"Dek, ini kamu tau Manga"
"Iya, kenapa?"
"Itu ada yang nulis. Abis nonton Manga ada anak yang bunuh diri"
"Oh Iya?"
"Terus katanya ada game tentang bunuh diri yang ngasih tau gimana cara bunuh diri yang peaceful. Serem banget deh bisa sampai bunuh diri."
"Oh Iya ya?"
"Emang Manga itu kayak apasih?"
Untungnya, umur saya sudah 20 tahun, jadi sehabis percakapan tersebut tidak ada embel-embel, "Kamu jangan nonton Manga ya". (Soalnya, saya fans berat dari beberapa Manga, seperti Detectif Conan dan Rurouni Kenshin Hehe. Tidak sampai
cosplay sih). Untuk membaca lebih lengkap tulisan tersebut (yang ternyata adalah
broadcast message) bisa diklik
di sini.
Peran Manusia pada Manusia Lain
Dalam beberapa kasus di Detektif Conan, terdapat beberapa kasus bunuh diri yang sebenarnya dapat dikualifikasikan menjadi kasus pembunuhan, yaitu ketika korban mendapat tekanan atau intimidasi (verbal dan fisik) dari pelaku sehingga ia merasa tidak lagi berguna dan salah satu solusi yang terpikirkan adalah mati. Sebab, dalam dunia ini apa yang terlihat lebih dianggap lebih penting dari apa yang tak terlihat, apa yang mempengaruhi fisik lebih dianggap penting dari apa yang dialami oleh psikologis. Dari luar nampaknya ia bunuh diri dengan menonton Manga. Namun, dibalik aksinya tersebut terdapat seorang pelaku yang 'mendorong'nya untuk bunuh diri. Pelaku dapat dibilang sebagai pembunuh tanpa senjata.
Pernah nonton 3 Idiots? Yes. Kejadian yang sama terjadi pula dalam film 3 Idiots di mana salah satu mahasiswa senior dari institusi pendidikan terbaik di India bunuh diri akibat tugas akhirnya ditolak dan dihancurkan oleh Ketua Insitusi (mungkin Rektor?). Padahal ia sangat ingin lulus dan sudah ditekan oleh dosen dan keluarganya untuk cepat lulus. Ia memiliki harapan, namun harapan tersebut dihancurkan oleh perkataan dan intimidasi dari Ketua Institusi. Ia merasa tidak berguna dan akhirnya ia memilih untuk keluar : bunuh diri. Ranco (Aamir Khan) pada satu adegan pemakaman berkata kepada Ketua Institusi, 'Ia tidak bunuh diri. Ia dibunuh dan anda pembunuhnya" (para-frase).
Bila dikutip dari link yang saya lampirkan bahwa korban : "Sejak kecil ia sudah tinggal dan diasuh neneknya, sebab kedua orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Pulang ke rumah pun, tidak ada yang tahu. Kabarnya di sekolah pun ia termasuk anak yang pandai dan pendiam. Diduga ia kurang pandai bergaul." Ok, jika saya bilang bahwa Manga adalah teman baiknya di mana ia bisa 'diterima' dan merasa 'merdeka' ketika ia tidak memiliki orang-orang di sekitarnya dan kebetulan Manga yang ia konsumsi menjawab permasalahan yang ia bebani, Anda bisa menyimpulkan sesuatu bukan? Well, Manga dan bunuh diri adalah jawaban baginya.
Sihir Manga
Manga merupakan salah satu produk budaya yang menjual konten atau cerita berbentuk komik dari Jepang. Manga pun tersegmentasi dalam beberapa target pasar. Sama seperti film ada yang untuk anak kecil, remaja, dan orang dewasa. Nah, sayangnya, mayoritas orang Indonesia menganggap bahwa kartun itu konsumsi anak-anak, tak terkecuali ibu saya. Beliau tidak suka melihat anak-anaknya ini yang sudah dewasa membaca banyak komik, karena menurut Ibu komik ya untuk anak-anak. Dengan asumsi seperti ini, beberapa orang dewasa membebaskan anak atau adiknya menonton kartun, tanpa melihat segmentasinya, dan tidak memberikan pengertian atau tafsir mengenai isi kartun tersebut. Sehingga ada kemungkinan anak atau adik mengonsumsi adegan-adegan untuk orang dewasa. Jadi, bukan Manganya yang berbahaya. Bisa saja target aundiensnya yang tidak tepat. Pernah juga terdapat sebuah kasus anak yang terjun dari lantai atas, selepas nonton film Superman. Kembali lagi film Superman ditargetkan untuk orang dewasa, bahkan kartunnnya, bukan untuk anak kecil. Ketika kita membawa anak kecil menonton film Superman dan membebaskannya, yang salah siapa? Jadi, jangan terbawa asumsi bahwa kartun itu hanya untuk anak kecil. Jadilah filter pertama untuk adik kita
(Anjrit bahasa gue).
Jika kita baca BM tersebut, sangat jelas bahwa intonasi penulis BM menyudutkan media : Manga. Dari awal, ketika percakapan dengan ibu saya dan sebelum membaca postingan Miranda Olga, saya sudah yakin ada masalah dalam keluarganya. Saya tidak percaya bahwa media dapat berpengaruh secara konsisten dan besar terhadap prilaku seorang anak, kecuali jika tidak ada filter atau pengertian dari orang tua maupun institusi pendidikan. Sejak umur 7 tahun, saya sangat menyukai film laga, petualangan, dan misteri (dektektif) termasuk Manga yang saya tonton, di mana kedua genre ini sangat dekat dengan kekerasan dan pemubunuhan. Tapi, Alhamdulillah, saya masih sehat wal afiat dan tidak ada rencana untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain.
Ada beberapa hal yang menurut saya alasan mengapa sihir kekerasan dalam media tidak berdampak pada saya :
(1) Ketika saya mengonsumsi kekerasan (Kung Fu China terutama) saya ditemani oleh Ayah saya, beliau yang pegang remote. Jadi kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan umur saya (kekerasan yang parah atau adegan seks), Ayah saya langsung menggantinya ke channel lain ;
(2) Saya jadikan kekerasan sebagai katarsis atau penyaluran. Jadi ketika saya marah atau sedih atau dan bawaannya saya pingin nonjok orang, hal yang saya cari adalah film laga. Dengan gambar yang disampaikan, saya sudah merasa puas dan perasaan saya terwakili dan bahkan saya terkadang ikut-ikutan capek. Kekerasan dalam media bukan menjadi inspirasi tapi sebagai penyaluran ;
(3) Saya memiliki keluarga harmonis dan teman yang baik. Hidup saya di dunia nyata cukup nyaman sehingga tidak ingin mencari dunia lain yang lebih nyaman. Keluarga saya juga menyampaikan nilai-nilai baik dengan teguh sehingga nilai-nilai lain akan saya filter dulu dan disesuaikan dengan nilai saya dengan kata lain nilai keluarga saya.
Jadi jika ingin terhindar dari Sihir Manga yang dapat 'menjerumuskan' anak kecil hal yang harus dihindari adalah keabsenan dua insitusi penting : keluarga dan sekolah. Media hanyalah salah satu variabel yang kecil pengaruhnya dibandingkan keluarga dan sekolah. Namun, bisa jadi besar pengaruhnya, jika kedua peran dari keluarga dan sekolah hilang. Sekolah? Iya, saya punya cerita. Jadi, ketika saya SMA saya bagian dari kelas IPS dan salah satu murid di kelas tersebut ada yang sangat pendiam dan cendrung menyendiri. Ia juga sangat menyukai Manga dan jago berbahasa Jepang. Sewaktu ketika guru kami melihat ada yang tidak beres dari kondisi ini, akhirnya kami disuruh untuk menemani ia bagaimana pun caranya. Kebetulan ada sebuah
project di sekolah kami, yaitu pekan kebudayaan (dan kami dapat tema Jepang), dan drama kelas. Dengan proyek ini, saya, selaku ketua kelas pada waktu itu
(eyaaa), melibatkannya dalam menghias tulisan Jepang dan akhirnya kami pun menjadi sering berkomunikasi dengannya dan kami juga jadi berkenalan dengan dunianya. Suatu ketika ia pernah membawa baju
cosplay dan kami kagum dengan pakaiannya dan minatnya. Ia menjadi pusat perhatian saat itu. Sedangkan, ketika drama kelas, saya memintanya untuk menjadi narator, sebab suaranya sangat baik. Saat itu guru kami sangat perhatian pada pergaulan kami. Peran sekolah (dalam hal ini guru dan teman-teman) sangat membantu sekali untuk menciptakan kondisi yang nyaman sehingga ia tidak butuh sebuah 'pelarian'.
----
Ketidakhadiran kenyamanan dan kasih sayang pada seseorang bisa menimbulkan perasaan tertekan pada orang lain dan sudah sewajarnya manusia akan mencari titik kenyamanannya sendiri. Bla ia tidak temukan itu di dunia, Ia akan mencarinya lewat apapun, tak terkecuali bunuh diri. Jadi,
mind your act because we live in the world of interpretation. Sebelum berlaku pikirkan dahulu apakah ini merugikan orang lain, apakah prilaku saya membuat keadaan sesorang menjadi lebih buruk, apakah prilaku saya dapat melindungi anak-anak saya, apakah prilaku saya memicu seseorang untuk bunuh diri. Jika yang terjadi kalimat yang terakhir, ya... bisa jadi Anda merupakan pembunuh tanpa senjata.
Referensi :
http://tulisanolga.blogspot.com/2015/01/istirahat-dalam-damai-dik.html