- Ketika Festival Budaya 8, kelas saya mengambil budaya Jepang. Kalau dibilang stand yang kami buat sangat kedai Jepang, ada pagar bambunya, ada pohon bambu untuk wishlist, ada tirai-tirai bambunya, ada hiasan dinding minimalis ala Jepang, lalu kami membawa samurai, lalu di depan stand kami yang berbentuk kerucut atapnya, bertuliskan selamat datang dalam bahasa Jepang, bahkan kami membawa tukang yang membuat sushi dan menjual akesesoris Jepang lalu kami juga membuat games yang menangkap ikan dalam kolam. Baju-baju kami juga Jepang sekali mulai dari Kimono sebagai budaya tradisional hingga One Piece sebagai budaya pop. Pendatang pada stand kami juga ramai, lebih ramai dari tempat lain, ketika saya liat DP BBM teman saya yang berlatar belakang stand kami, benar-benar seperti terasa di Jepang. Lalu apakah kami menang? Tidak. Yang menang adalah kelas X yang membuat gapura seperti streofoam buatan orang lain. Bukan handmade, sedangkan kelas saya handmade semua, kecuali Sushi dan souvenirnya. Memang sederhana, cuma stand kami "Jepang Banget"
- Pada festival yang sama kami mengikuti lomba memasak. Saya lupa apa yang teman saya buat, kalau tidak salah udon atau sushi gitu, pokoknya ada seafoodnya. Tebak apa yang juri makan? wortelnya, yang notabanenya pelengkap masakan. Menang? Jelas tidak.
- Pernah ada di informasi sekolah lewat speaker kelas mengumumkan beasiswa/pertukaran pelajar begitu. Untuk siapa? Kelas IPA dan Kelas X, kelas kami? Tidak.
- Tiap lomba yang sekolah kami juarai selalu diumumkan, kalau kelas kami yang juara, tidak pernah disebutkan dalam upacara.
- Jadwal ujian untuk IPS dan Humanity agak gila, mengapa? Dalam satu hari terdapat 2 mata pelajaran IPS yakni Ekonomi dan Geografi sehingga hafalannya gila-gilaan, dan hari lain pelajaran 2 pelajaran bahasa jadi satu. Sedangkan anak IPA dipisah tiap mata pelajaran IPA-nya. Alhamdulillah jadwal ini berubah setelah kami protes.
- Kami juga punya bintang kelas yang bisa dibanggakan seperti teman saya Sisi yang telah menulis artikel di beberapa koran dan majalah, menjadi pantia acara-acara penting, menjuari lomba-lomba bidang sosial, menjadi duta antikorupsi, tapi tetap saja tidak dikenal seperti orang-orang OSN lainnya.
- Terakhir pengalaman pribadi saya, dari awal penentuan jurusan sampai naik kelas saya tidak bimbang masuk IPS, sampai orang tua saya dipanggil ke BK apakah betul saya mau IPS. Namun akhirnya saya dimasukan ke IPA. Nilai IPS saya juga tidak kurang, bahkan lebih tinggi dari nilai IPA saya. Sehingga saya harus membuat surat permohonan untuk masuk ke kelas IPS. Alasannya sepele :karena nilai saya cukup untuk masuk IPA. Jadi, secara tidak langsung IPS kelas buangan? walaupun nilai dan minat saya ke IPA?
Diskriminasi ini semakin terlihat jelas ketika ada teman (umpamakan A) dari teman saya(Umpamakan B) menyindir si B. Si A anak IPA yang selalu menggoda B kalo B pasti tidak bisa mengerjakan soal matematika pelajaran IPA, lalu tibalah masa ujian. Ternyata nilai si A lebih rendah dari nilai si B dan si A meminta B untuk mengajari A soal matematika tersebut. Belakangan saya tahu bahwa, si A ingin masuk jurusan yang B ingini. Kesal tidak?
Wahai guru, teman, orang-orang yang saya sayangi dan menganggap rendah kepada bidang sosial, hargailah kami para pelajar yang berusaha memahami ilmu sosial yang ada di masyarakat. Mengapa ilmu sosial harus dipelajari?
- Penelitian "How Islamic are Islamic Countries?" menyebutkan bahwa Selandia Baru dan negara2 eropa barat lebih Islami dibanding Indonesia. Apa indikatornya? Hal-hal yang terdapat pada hadist dan Al-Quran mengenai hubungan sosial-kemasyarakatan lebih terasa di negara-negara tersebut. Karena apa? karena mereka lebih berbudaya dan menghargai hubungan sesama manusia, Indonesia? Tidak. Mungkin terlalu sibuk sama teknologi :)
- Teknologi di Indonesia semakin canggih, berarti ilmu eksakta cukup dihargai, sangat malah. Sedangkan krisis sosial, ekonomi, budaya direbut, kriminalitas masih merajalela. Lalu ilmu apa yang sebaiknya dipelajari? Sosial bukan?
- Indonesia kehilangan Timor Leste ketika presidennya sangat ahli dalam teknologi bukan? Kepintaran ekstakta saja tidak cukup untuk memerintah dan memimpin.
Itu baru saja beberapa hal yang terjadi kalau saja kita terus merendahkan ilmu sosial, bisa-bisa negeri ini hanya terdiri dari orang-orang pintar yang tak memiliki kepribadian dan tak mampu menghadapi masalah-masalah sosial. Tinggalah Indonesia negera budak yang hanya bisa diperintah bangsa lain di negeri lain dan di negeri sendiri.
Seperti kata Pramoedya Anata Toer:
“Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”
dan
“Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. Kan begitu Tuan Jenderal?
(Jejak Langkah, h. 32)
”
― Pramoedya Ananta Toer
(Jejak Langkah, h. 32)
”
― Pramoedya Ananta Toer
dan kata WS. Rendra:
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Mari mulai menghargai bidang sosial dan terapkan ilmunya!