Hari ini aku mengerjakan tugas di sebuah kedai kopi menengah (baca : tidak mahal-mahal amat). Tugasku sangat membosankan : menulis verbatim hasil wawancara untuk mata kuliah penelitian. Setelah mencapai puncak bosan, aku melihat sekeliling, depan ku AC dengan freon yang masih baru nampaknya, sangat dingin. Ku lihat sampingku terdapat kedua kolega yang setengah-setengah mengobrol dan setengah-setengah mengerjakan tugas mereka. Mungkin juga mereka dikejar deadline sama seperti ku. Tak ada interaksi, padahal kami satu meja. Hanya satu lirikan yang wanita itu diberikan ketika aku memakan samosa ayam. Aku yakin ia ingin memakan samosa juga karena AC semakin dingin dan bisa jadi ia lapar. Tapi suara yang ku dengar dari mereka hanya bunyi tuts keyboard laptop, bukan ajakan berkenalan atau ajakan lainnya. Semakin jengah, aku buka social media.
Aku berselancar ke dunia maya. Melihat lakon-lakon yang menampilkan foto-foto. Cantik, tampan, dan indah. Tak jarang foto-foto kuberikan 'love'. Namun, ada satu foto yang membuat ku heran. Foto yang diungggah oleh salah satu sutradara favorit. Fotonya berisi dua gadis kecil dengan muka canggung dan foto tersebut memiliki caption : "Pertemuan di satu sore, tanpa jabat tangan dan kenalan, ku abadikan". Aku menerka bagaimana ia mengambil foto tersebut. Tanpa kenalan? Meminta mereka memberhentikan aktivitas dan menyodorkan kamera ke muka mereka? Aneh betul rasanya.
Kita manusia-manusia digital rasanya lebih nyaman berinteraksi dengan media dibanding dengan manusia. Ini baru celoteh ku yang memegang smartphone sejak kuliah dan menggunakan internet sejak SMP. Bagaimana dengan keponakanku yang sedari lahir sudah berhadapan dengan kamera dan foto mereka diungggah kemana-mana. Bahkan mungkin temanku sudah merasa akrab dengan foto keponakanku sebelum mereka bertemu. Mungkin suatu saat keponakanku tidak lagi bisa menatap mata manusia, ia lebih akrab menatap titik kecil bernama lensa pengganti mata-mata manusia yang tak sanggup lagi berinteraksi secara langsung.
***
Kita merasa kita telah bersama secara fisik duduk di meja yang sama, tapi kita sendirian menatap layar-layar. Kita merasa telah mengenal dengan memberikan emoticon satu dengan lainnya, tapi kita sebenarnya sendirian di kamar-kamar, di kedai-kesai. Kita merasa bersama, tapi sebenarnya kita tak lebih dari manusia dengn kesendirian.
***
Dan akhirnya aku kembali menyelesaikan verbatimku.