"Kalo gue punya anak gue bakal ngewajibin dia baca sastra"
Saya dan membaca adalah sebuah kesatuan. Saya bukanlah saya bila tidak pernah membaca. Bukan hanya jendela dunia, bagi saya, membaca adalah sebuah pembentukan pola pikir yang tidak ada habisnya hingga sampai di suatu titik absolute knowledge-nya Hegel. Melalui membacalah, pola pikir diuji dan disanalah dialektika berlangsung. Namun, kemudian, saya memilih untuk menyukai sastra dibandingkan jenis bacaan lainnya. Ya, sastra yang menceritakan manusia berserta kehidupannya, bumi manusia
Kehidupan manusia yang dalam sastra bukanlah cerita yang hebat. Bukan cerita naga yang berubah menjadi kaisar ketika mendapatkan ciuman oleh perawan. Kehidupan manusia yang diceritakan biasa-biasa saja. Seorang perempuan yang diculik lalu dijadikan buruh tani dan gundik (Mirah dari Banda), atau seorang priyayi yang memilih menjadi seorang dokter yang bergaji rendah dan minim gensi, kala itu (Jejak Langkah). Biasa saja bukan? cerita yang berada di dalam akal manusia. Namun, hal tersebutlah titik istimewanya. Dimana para pembaca diajak untuk berkompromi dengan realita yang tidak atau belum pernah dirasakannya (atau mungkin pernah dirasakan) dengan sudut pandang orang lain. Kehidupan saya cendrung biasa-biasa saja, untuk itu, untuk memperluas cakrawala pengalaman, saya pinjam pengalaman kehidupan lain dalam sastra agar terbentuk sebuah keberagaman perspektif hidup dan lebih mawas diri dalam menjalani kehidupan. Sehingga saya tidak perlu menjadi gundik untuk merasakan kehidupan gundik. Saya cukup membaca kisahnya dan merasakan kompleksitas batinnya.
Saya pun menjadi lebih bijak dan toleran dalam menghakimi suatu realita atau peristiwa. Saya akan tinjau hal tersebut dari seluruh aspek seperti pencerita yang menjabarkan pelik kehidupan para tokohnya, tidak hanya apa yang 'terlihat'. Seluruh cerita sastra sangat dekat dengan realita, meskipun banyak dari mereka adalah fiksi atau roman. Hal ini tidak terlepas dari riset mereka yang gila-gilan, detail, dan mendalam agar cerita bisa hidup laksana ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Dengan alasan ini, saya mencintai sastra bertahun-tahun. Hal ini pula yang membuat saya begitu meresapi penggunaan Bahasa Indonesia. Sulit bagi saya untuk menggunakan bahasa lain sebab tidak seintim Bahasa Indonesia yang saya gunakan ketika menikmati sastra.
Saya pun menjadi lebih bijak dan toleran dalam menghakimi suatu realita atau peristiwa. Saya akan tinjau hal tersebut dari seluruh aspek seperti pencerita yang menjabarkan pelik kehidupan para tokohnya, tidak hanya apa yang 'terlihat'. Seluruh cerita sastra sangat dekat dengan realita, meskipun banyak dari mereka adalah fiksi atau roman. Hal ini tidak terlepas dari riset mereka yang gila-gilan, detail, dan mendalam agar cerita bisa hidup laksana ditiupkan ruh oleh Sang Pencipta. Dengan alasan ini, saya mencintai sastra bertahun-tahun. Hal ini pula yang membuat saya begitu meresapi penggunaan Bahasa Indonesia. Sulit bagi saya untuk menggunakan bahasa lain sebab tidak seintim Bahasa Indonesia yang saya gunakan ketika menikmati sastra.
Hal-hal tersebutlah yang membuat sastra menjadi bagian dari hidup saya dan saya harapkan menjadi bagian dari orang-orang pula. Sebab, bukan hanya menjadi terhibur, dengan sastra, kita akan memiliki perspektif imaginer mengenai kehidupan. Mari baca sastra!