Senin, 20 April 2015

Mengunyah Kentut

itu lagi

sampah dikunyah lagi

dimakan dilumat dikeluarkan lagi

bahkan dimakan oleh semua yang mendengarkan

kentut itu bicara

tentang ia yang terlihat pori-porinya di sampul majalah

dikunyah oleh semua

dijadikan kentut lagi oleh semua

dikunyah lagi

hingga hilang rasa, hilang selera

hingga semua bosan




padahal —

dia di depan

seharusnya memberi lentera dan harapan

atau setidaknya beri semua cakrawala

tentang dunia yang punya ragam paradigma kekuasaan

bukan kentut

yang itu lagi

itu lagi


2014

***

      Puisi ini saya ikut sertakan dalam lomba Puisi di UI Art War mewakili FISIP. Kalah sih, tapi menyenangkan juga kembali menulis puisi dan mempublikasikannya kepada khalayak. Terakhir kali saya menulis puisi dan membacakannya ketika saya SMP. Merasa aneh karena teman-teman SMP saya tidak menyukai sastra, saya menyembunyikan minat saya akan puisi dan sastra. Minat ini kembali ketika teman-teman di lingkungan saya (baca : kampus) lebih torelan terhadap minat yang aneh-aneh. Saya pun memberanikan diri untuk mengirim aplikasi.
         Teman saya tertawa ketika membaca judulnya, Mengunyah Kentut. Waktu itu, kami berada di kelas dan merasa bosan. Saya bilang ke dia bahwa puisi ini untuk orang yang ada di depan kelas : dosen kami. Ia berbicara seperti kentut, ringan dan tidak bermakna. Lalu, kami memakan kentut tersebut lalu menanggapi kentut itu dengan kentut lagi yang tak kalah baunya. Tiap pertemuaan ia berbicara tentang Jokowi, mulai dari penampilannya hingga fotonya yang berada di cover majalah Times. Memuakan dan membosankan. Jokowi. Jokowi. Jokowi. Seharusnya, ia sebagai dosen  menjelaskan dunia politik yang lebih luas tidak hanya Jokowi. Dunia politik lebih beragam. Ia hanya pionir bukan sebuah dewa yang asik dipuja terus menerus. 
           Secara luas, saya ingin menggambarkan dunia post-modern di mana hampir semua informasi yang dibicarakan sangat tidak subtantif, apalagi oleh media. Media yang harusnya menjadi pelopor surveillence untuk menceritakan ragam dunia hanya menjadi wadah yang omong kosong. Membicarakan hal yang remeh temeh seperti kentut : bau, ringan, tidak  bermakna dan kita sebagai masyarakat, bukannya menolaknya, malah memakan kentut-kentut tersebut, sampai bosan, sampai jengah. 

Guru Bangsa Tjokroaminoto : Titik Tengah

Sudah sampai dimana hijrah kita Gus?”
           “Mungkin sampai Arafah, gersang dan sepi. Mungkin ini saatnya meminta Allah untuk menemani”

             Dengan latar belakang lukisan pemandangan pelataran Keraton, H.O.S Tjokroaminoto (Reza Rahadian) dan Agus Salim (Ibnu Jamil) berdialog secara teatrikal dan metaforis. Ketika itu, Serikat Islam semakin terpecah, SI Merah dan SI Putih. Semua berantakan. Semua berpencaran. Maka, Cokro, sekali lagi, menanyakan makna hijrah dan sudah sampai mana hijrah beliau. Adegan ini merupakan adegan yang paling saya sukai. Cokro terlihat seperti manusia, tidak lagi seperti dewa yang dielu-elukan masyarakat Semarang-Surabaya. Ia menjadi manusia kembali : ragu akan takdir, ragu atas hijrah yang telah diambil.
***

Titik Tengah
             Motivasi utama saya menonton film ini di bioskop sangat sederhana. Saya ingin melihat apakah ada sosok Tirto Adhi Surjo (Minke) dimunculkan dalam film ini. Mengingat salah satu sumbu dari pergerakan zaman Cokro adalah koran terbitan Minke, Medan Priaji. Bahkan dalam buku Jejak Langkah dan Rumah Kaca, nama Cokro sering kali disebut sebagai konco-konco setelah Minke. Sebab, Minke salah satu pelopor yang membuat Serikat Prijaji yang nantinya akan menginisiasi pembentukan Serikat Dagang Islam oleh H. Samanhudi dan nantinya, SDI akan berubah menjadi SI oleh H.O.S Cokroaminoto. Jelas bagi saya, Minke adalah ‘kakak kelas’ dari Cokro.  Saya merupakan penganggum garis keras Minke (tokoh gubahan Pram yang menceritakan TAM). Oleh karena itu, saya ingin melihat apakah Garin mengikutsertakan Minke? Kalau iya, bagaimana wujudnya? Ternyata harapan saya terlalu muluk. Minke tidak diadakan tokohnya. Tapi salah satu pemain figuran yang berpakaian gamis (saya tidak tau namanya) menyebutkan nama Minke, koran Minke sebagai referensi gerakan. Saya sudah merasa senang.
             
             Mungkin pula, ketidakhadiran Minke disebabkkan karena terlalu dini untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi hingga kemerdekaan Indonesia. Sebab, Cokro ibarat jembatan yang menghubungkan organisasi awal (Budi Oetomo, Syarikat Prijaji, Serikat Dagang Islam) berbentuk perkumpulan saja dengan organisasi yang telah tahu gerakan apa yang mereka bawa, bersifat politis, dan tahu kemana tujuannya (PNI, PKI, Masyumi, dan PSI). Ia jembatan antara generasi TAM, H. Samanhudi; dan Soekarno, Agus Salim, Muso, Kartosuwirjo dan Semaoen. Menceritakan Cokro berarti juga menyinggung generasi sebelum dan sesudahnya. Jadi, pengangakatan Cokro sebagai tokoh sentral menjadikan penuturan yang lebih luas dan lengkap untuk menjelaskan pergerakan organisasi pribumi.

               Implikasinya, kehidupan Cokro yang penuh peristiwa penting dipadatkan hanya menjadi dua setengah jam, padahal Cokro bertemu banyak tokoh penting yang akhirnya hanya menjadi figuran. Saya yakin jika waktu film diperpanjang kehadiran tokoh-tokoh ini lebih bermakna dan hidup. Jika Anda teliti, bahkan, film ini menyertakan Matahari, seorang wanita penghibur yang bekerja sampingan menjadi mata-mata (pernah dijadikan novel oleh Remy Sylado). Saya tidak menyadari kehadirannya sampai pada satu adegan atasan Matahari menyuruhnya untuk membuntuti Cokro. Belum lagi ada narator yang semakin memperbanyak aktor dalam film ini, seperti Stella (Chelsea Islan) dan Bagong.

Utami dan Para Pria Kece
              Saya iri kepada Utami. Jujur. Bagaimana bisa ia dapat seatap dengan pria-pria kece, seperti Soekarno, Semaoen, Muso, dan Darsono. Melihat mereka berdiskusi tiap hari dan melihat pria-pria pintar tersebut mondar-mandir di rumah sendiri berbicara tentang gagasan? Bisa-bisa saya menguping tiap saat dan memandangi pria-pria tersebut. Sudah mana, dalam film ini, pria-pria tersebut tampan-tampan, tentu aslinya mungkin saja tidak setampan mereka. Hahaha.
              
              Di sisi lain, saya kurang suka dengan Kusno. Mengapa harus Deva Mahendra? Karena gambaran saya tentang Deva Mahendra telah tercampur oleh perannya di Tetangga Masa Gitu yang bodoh, dan ngebanyol. Jadi, pikiran saya menolak untuk mengidentifikasikan Deva dengan Kusno. Apalagi, ketika ada satu adegan yang Kusno mendekati Utami dan ia bercanda dengan Cokro, Istri Cokro(Putri Ayudya), dan Utami. Saat itu Kusno sangat.......... Bastian (Deva di Tetangga Masa Gitu).

               Saya meyukai Semaun (Tanta Ginting) dan Agus Salim (Ibnu Jamil). Mereka berdua begitu pas sebagai figuran hidup Cokro. Mereka tidak banyak ambil bagian, tapi terasa perannya. Saya menyayangkan Muso (Ade Firman Hakim) tidak terlalu terlihat di film ini. Saya menonton beberapa kali pementasan Ade Firman di Teater Koma, termasuk perannya yang terakhir di Legenda Ular Putih. Ia sangat baik memerankan Kon Han Bun yang tidak berpendirian. Berdasarkan hal tersebut, saya berharap bisa melihat perannya yang lebih banyak. Ternyata tidak. Bagaimana dengan Cokro (Reza Rahardian) sendiri? Sangat pas. Itu saja. Ia benar-benar aktor yang tidak memiliki cetakan, ia bisa jadi apa saja.

Menyajikan Tjokro
                Leila S.Chudori mengkritik film ini (di Majalah Tempo) karena banyak adegan menyanyi sebagai cara untuk perpindahan waktu. Menurutnya, porsi musikal tidak untuk film ini. Di satu sisi, saya setuju. Kebanyakan adegan bernyanyi membuat semakin memperpanjang durasi film, mengurangi dialog, dan menjadikan film ini lebih keliatan tidak garang atau serius (‘ya kali, masa pahlawan nyanyi-nyanyi sih?’). Namun, entah mengapa kehadiran musikal dan kur ini dapat menjadikan pesan-pesan yang berat menjadi lebih santai, menjadi distraction yang menghibur, dan mempertegas bahwa ini bukan sumber sejarah, ini interpretasi Garin akan Cokro. Perlu diingat bahwa ini film komersil sehingga akan sulit untuk tetap menarik penonton Indonesia jika hanya menghadirkan film yang penuh akan diskusi dan orasi tanpa menghadirkan suatu yang menghibur. Tentu masih ingat GIE yang kurang laku di pasaran. Musik salah satu variabel yang akan membuat penonton merasa film ini tidak terlalu serius dan mengihur..
                  
                   Berbicara mengenai interpretasi sejarah, saya sebagai orang yang menyukai sejarah (meskipun bukan ahli sejarah) lebih mengharapkan adegan yang lebih panjang. Terutama ketika ada adegan  komunitas Tionghoa yang memotong rambutnya. Kalau saya tidak salah baca dari Tetralogi Buru, pemotongan rambut panjang-kepang orang Tionghoa merupakan protes angkatan muda kepada angkatan tua komunitas Tionghoa akan sebuah revolusi di tanah mereka dan itu sarat makna karena Tionghoa memiliki simbol akan rambut tersebut (ini kalo gak salah sih, udah lama juga bacanya). Namun, adegan itu tidak terlalu dijelaskan, tiba-tiba cuma ada adegan potong rambut.
Menurut saya juga terlalu banyak adegan muka melas pribumi. Terlalu eksploitatif. Mungkin film ini ingin menggambarkan perbedaan power dan relasi kuasa antara prijaji dan pribumi jelata. Tapi, kurang pas saja bagi saya. Sangat tidak enak dilihat.
***

             

‘Ingatlah ini ketika kau ingin berhijrah : setinggi-tingginya ilmu, Sepintar-pintar strategi, Semurni-murninnya Tauhid’




P.S : I found this article has  unstructured and non-comprehensive plot. I'm sorry for inconvenience. I made this in hurry before I forget my impression about this movie. Beside, I was too lazy to make a good one.


Mengenai Saya

Foto saya
Mahasiswa, 21 Tahun. Belajar mengenai komunikasi dan media di sebuah perguruan tinggi.

Pengikut